Kamis, 12 Maret 2015

Metode Jigsaw



Metode Pembelajaran Jigsaw
Senin, 3 Nov 2014

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh…..

                Sudahkah teman-teman guru memvariasikan metode pembelajaran dalam mengajar siswa siswi Anda? Atau masih selalu menggunakan metode ceramah? Akan saya bagikan metode pembelajaran yang bisa Anda gunakan untuk memvariasikan pembelajaran Anda.
Untuk teman-teman Guru yang masih selalu dan selalu menggunakan metode ceramah dalam mengajar, mari kita mulai untuk memvariasikan metode pembelajaran supaya anak didik kita tidak merasa bosan dan akan senang serta aktif dalam belajar. Apalagi sekarang sudah diterapkan kurikulum 2013, yang dituntut aktif adalah para siswa. Jika kita masih saja selalu menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran, maka tidak akan tercapai tujuan pembelajaran kurikulum 2013. Karena anak didik kita hanya mendengarkan dan mereka akan menjadi siswa yang pasif.
Ok, kita mulai metode pembelajaran Jigsawnya….
1.       Seperti biasa Anda masuk kelas, membuka pelajaran, presensi, mengingatkan materi yang sudah dipelajari sebelumnya (tahap Apersepsi). Kemudian Anda beri pengantar materi yang akan diajarkan.
2.       Setelah para siswa diberi pengantar materi, bagi ke dalam beberapa kelompok tahap pertama (jumlah kelompok sesuai dengan kebutuhan materi).
3.       Tiap kelompok diberi tema materi yang berbeda (waktu ditentukan), untuk dibahas dalam kelompoknya. (tiap kelompok harus benar-benar menguasai materi yang diberikan pada kelompok tahap pertama, karena masing-masing individu nanti harus menjelaskan materi yang  dibahas di kelompok pertama, pada kelompok tahap kedua).
4.        Setelah waktu yang ditentukan selesai, Guru membentuk kelompok tahap kedua. (jumlah kelompok lebih sedikit, dalam satu kelompok terdiri dari 1 perwakilan dari kelompok pertama).
5.       Di kelompok tahap kedua ini, perwakilan dari masing-masing kelompok, harus menyampaikan hasil diskusinya dari kelompok pertama, secara bergantian.
6.        Setelah semua materi/hasil diskusi tersampaikan semuanya, tunjuk beberapa anak untuk menyampaikan hasil diskusi yang kedua di depan kelas.
Dengan siswa bisa menyampaikan hasil diskusi yang kedua, artinya siswa telah mamahami semua materi yang diberikan oleh guru.
                Berdasarkan pengalaman dari penulis setelah menerapkan metode jigsaw pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), pada kelompok pertama, semua siswa aktif untuk memahami materi dan berupaya untuk bisa menjelaskan materi pada kelompok tahap kedua. Pada kelompok kedua, perwakilan dari masing-masing kelompok tahap pertama bisa menyampaikan materi yang telah dibahas pada kelompok pertama. Meskipun ada satu dua anak yang protes karena teman kelompok tahap kedua ada yang tidak jelas/tidak bisa dipahami oleh teman yang lain.
                Selain pengalaman tersebut, telah diterapkan pula oleh suami saya pada mata pelajaran PKn. Bagaimana pendapatnya? Beliau berpendapat bahwa, “enak menggunakan metode jigsaw, semua anak jadi aktif, efisiensi waktu (artinya materi satu bab bisa terselesaikan dalam satu waktu, jika tidak selesai, bisa dilanjutkan pada pertemuan selanjutnya).
                Itulah kiranya yang bisa saya bagikan, semoga bermanfaat. Selamat mencoba !!!
                 


Selasa, 27 Januari 2015

Ringkasan Ushul Fiqh



Pengertian Ushul
Al-ushul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: “ Ashlu / Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).
Pengertian “Fiqh
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Fiqh menurut istilah : ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci.
Pengertian Ushul Fiqh menurut Baidhowi
Adalah Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid).
Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar:  perbuatan mukallaf dari sisi konsekuensi hukumnya secara syar’I ( jual beli, sholat, dst)
Ushul fiqh berkisar tentang : dalil syar’i global dan apa yang diambil darinya hukum-hukum global ( qiyas, aam, mutlaq dst)
SUMBER HUKUM ISLAM
Sumber hukum Islam secara keseluruhan adalah :
1) Al-Quran; 2) Sunnah/Hadits; 3) Ijma’; 4) Qiyas; 6) Istihsan; 7) Maslalahah musralah; 8) Istishhab; 9) Saddud-dzariah; 10) Urf; 11) Pendapat/Mazhab sahabat dan 12) Syara’ umat sebelumnya.
Dan sebagian penulis mengklasifikasi menjadi:
1)      Sumber naqli adalah A-Quran dan Sunnah/Hadits. Ijma’ dan Syara’ umat sebelumnya
2)      Sumber yang tidak naqli adalah: Qiyas; Istihsan; Maslahah musralah;  Istishhab;  Saddud-dzariah;  Urf; Pendapat/Mazhab sahabat .
Al-Qur’an
Kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril yang berbahasa Arab dan tertulis dalam suatu mushhaf dan menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Al-Quran turun kepada nabi Muhammad sebagai wahyu, di dalam kalimatnya berbahasa Arab, lafadh dan maknanya dari  Allah Swt, membacanya adalah ibadah.
Kehujjaan Al-Quran:
Bukti bahwa Al-Quran menjadi hujjah atas manusia, hukum-hukumnya menjadi aturan yang wajib bagi manusia untuk diikuti, karena Al-Quran datang dari Allah disampaikan kepada manusia melalui nabi Muhammad saw dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan keautentisitas dan kebenarannya.
Kedinamisan Al-Quran:
Al-Quran sebagai sumber pokok  bagi semua hukum Islam maka Al-Quran sebagai kitab suci yang jami’ dan kulli. Dalam menjelaskan dasar-dasar hukum, Al-Quran hanya menjelaskan secara terperinci bidang keimanan/kepercayaan.
Al-Quran diturunkan secara berangsur:
         Memberi motivasi terhadap  nabi Muhammad dan menguatkan jiwanya dalam menerima wahyu tersebut dan dalam menghadapi  refleksi  dari sikap  dan tindakan orang quraisy di sekitarnya.
         Memudahkan kepada para umat Islam/sahabat dalam menghafal dan mendokumentasikan, khususnya mereka umumnya dikenal sebagai buta huruf (tidak tau tulis menulis dan membaca).
         Menjadi keberangsuran dalam menentukan hukum, khususnya yang berkaitan dengan persoalan halal-haram.
As-Sunnah/Hadits
            Menurut bahasa adalah sistem/cara atau lawan dari bid’ah.
            Istilah: Apa yang diperoleh dari Nabi Muhammad Saw berupa ucapan, perbuatan, atau penetapan.
Menurut Definisi, Sunnah Nabi ada tiga macam:
1)      Sunnah qauly: Hadits yang diperoleh dari ucapan-ucapan atau perkataan Nabi Saw
2)      Sunnah fi’ly: Hadits yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan Nabi Saw;
3)      Sunnah taqriry: Hadits yang diperoleh dari ketetapan atau persetujuan Nabi Saw.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa mengandung dua arti :
Pengertian pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu.
Pengertian kedua, berarti kesepakatan.
Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijmadalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasulullah SAW atas hukum syara.
Adapun pengertian Ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan yang mana terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu.
Kehujjahan ijma'
Ijma' menjadi hujah (pegangan) dengan sendirinya ditempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al-Qur-an dan Al-Hadist. Dan tidak menjadi ijma' kecuali telah disepakati oleh segala ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nash yang qath'i (Kitabullah dan hadist mutawatir). 
Pembagian ijma' 
Ijma' ummat itu dibagi menjadi dua:
1.  Ijma' qauli (ucapan); yaitu ijma' dimana para Ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma' ini disebut juga ijma' qath'i.
2.  Ijma' sukuti (diam); ialah ijma' dimana para Ulama ijtihad berdiam diri tiada mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu. Ijma' ini disebut juga ijma' dzanni. Sebagian ulama berpendapat, bahwa suatu penetapan jika yang menetapkan hakim yang berkuasa dan didiamkan oleh para Ulama, belum dapat dijadikan hujjah. Tetapi sesuatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang Faqih, lalu didiamkan para Ulama yang lain maka dapat dipandang ijma'.
Ijma’ dalam rumusan Al-Ghozali
Kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas suatu urusan agama
Pandangan Imam Al-Ghozali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang menetapkan Ijma’ itu sebagai kesepakatan umat. Yang mana di dasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami perubahan dan perkembangan ditangan pengikutnya di kemudian hari.
Rukun Ijma’
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.      Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2.      Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3.      Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.      Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Syarat Mujtahid
Para Mujtahid hendaknya minimal memiliki 3 syarat:
      Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
a)      Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
b)      Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
c)      Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
      Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fiqh.
      Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Para ulama ushul juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Contoh :
      hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt Qs.5:90.
 Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1.      Asal (pokok). Yaitu, apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2.      Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3.      Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4.      Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Hukum Ta’lifi dan Hukum Wadh’i
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:
Artinya:
 “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab,syarat, dan penghalang.”
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
Contoh firman Allah SWT. yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
Artinya: “dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (An-Nur : 56)
Contoh firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (Al-Baqarah: 188)
Contoh firman Allah yang bersifat memilih (fakultatif):
Artinya: “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. “(QS. Al-Baqarah : 187)
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama Ushul  Fiqh/Mutakalimin ada  lima  macam,  yaitu  ijab,  nadb,  ibahah,  karahah,  dan tahrim.
1.      Ijab Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sangsi. Misalnya, dalam surat An-Nur : 56
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…..”  
2.      Nadb Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak  dilarang  untuk  meninggalkannya.  Orang  yang  meninggalkannya  tidak  dikenai  hukuman.  Yang  dituntut  untuk  dikerjakan  itu  disebut mandub.
3.      Ibahah Yaitu khithab Allah yang bersifat  fakultatif,  mengandung pilihan antara berbuat  atau tidak berbuat  secara sama.  Akibat dari  khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2:
Artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu.”
4.      Karahah Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman.
Contoh : Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)
5.      Tahrim Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am : 151:
Artinya: “…. Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…”
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Macam-macam Hukum Wadh’i:
a.      Sebab Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.
Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
Artinya:  “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” (Al-Isra : 78)
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.      Syarat Yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’,  tetapi keberadaan hukum syara’  bergantung kepadanya. Apabila syara’  tidak ada,  hokum pun tidak ada,  tetapi  adanya syarat  tidak mengharuskan adanya hukum syara’. 
Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
Artinya :”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).” (QS. An-Nisa: 6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
a.       Mani’ (penghalang) Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Contoh khithab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang:
Artinya : “Pembunuh tidak mendapat waris.”