Pengertian
Ushul
Al-ushul adalah bentuk jamak dari
al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala
sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl
berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: “ Ashlu / Dalil tentang hukum
masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).
Pengertian
“Fiqh
Al-fiqh
menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Fiqh menurut istilah : ilmu tentang
hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya
yang terinci.
Pengertian
Ushul Fiqh menurut Baidhowi
Adalah Memahami dalil-dalil fiqh secara
global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh
(bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid).
Perbedaan
Fiqh dan Ushul Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar: perbuatan mukallaf dari sisi konsekuensi
hukumnya secara syar’I ( jual beli, sholat, dst)
Ushul fiqh berkisar tentang : dalil
syar’i global dan apa yang diambil darinya hukum-hukum global ( qiyas, aam,
mutlaq dst)
SUMBER HUKUM
ISLAM
Sumber
hukum Islam secara keseluruhan adalah :
1)
Al-Quran; 2) Sunnah/Hadits; 3) Ijma’; 4) Qiyas; 6) Istihsan; 7) Maslalahah
musralah; 8) Istishhab; 9) Saddud-dzariah; 10) Urf; 11) Pendapat/Mazhab sahabat
dan 12) Syara’ umat sebelumnya.
Dan sebagian penulis mengklasifikasi menjadi:
1)
Sumber
naqli adalah A-Quran dan Sunnah/Hadits. Ijma’ dan Syara’ umat sebelumnya
2)
Sumber
yang tidak naqli adalah: Qiyas; Istihsan; Maslahah musralah; Istishhab;
Saddud-dzariah; Urf;
Pendapat/Mazhab sahabat .
Al-Qur’an
Kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril yang berbahasa Arab dan tertulis
dalam suatu mushhaf dan menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Al-Quran turun kepada nabi Muhammad
sebagai wahyu, di dalam kalimatnya berbahasa Arab, lafadh dan maknanya
dari Allah Swt, membacanya adalah
ibadah.
Kehujjaan
Al-Quran:
Bukti bahwa Al-Quran menjadi hujjah atas
manusia, hukum-hukumnya menjadi aturan yang wajib bagi manusia untuk diikuti,
karena Al-Quran datang dari Allah disampaikan kepada manusia melalui nabi
Muhammad saw dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan keautentisitas dan
kebenarannya.
Kedinamisan
Al-Quran:
Al-Quran sebagai sumber pokok bagi semua hukum Islam maka Al-Quran sebagai
kitab suci yang jami’ dan kulli. Dalam menjelaskan dasar-dasar hukum, Al-Quran
hanya menjelaskan secara terperinci bidang keimanan/kepercayaan.
Al-Quran
diturunkan secara berangsur:
•
Memberi
motivasi terhadap nabi Muhammad dan
menguatkan jiwanya dalam menerima wahyu tersebut dan dalam menghadapi refleksi
dari sikap dan tindakan orang
quraisy di sekitarnya.
•
Memudahkan
kepada para umat Islam/sahabat dalam menghafal dan mendokumentasikan, khususnya
mereka umumnya dikenal sebagai buta huruf (tidak tau tulis menulis dan
membaca).
•
Menjadi
keberangsuran dalam menentukan hukum, khususnya yang berkaitan dengan persoalan
halal-haram.
As-Sunnah/Hadits
Menurut bahasa adalah sistem/cara
atau lawan dari bid’ah.
Istilah: Apa yang diperoleh dari Nabi
Muhammad Saw berupa ucapan, perbuatan, atau penetapan.
Menurut Definisi, Sunnah Nabi ada tiga macam:
1)
Sunnah qauly: Hadits yang diperoleh dari
ucapan-ucapan atau perkataan Nabi Saw
2)
Sunnah fi’ly: Hadits yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan
Nabi Saw;
3)
Sunnah taqriry: Hadits yang diperoleh dari
ketetapan atau persetujuan Nabi Saw.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa
mengandung dua arti :
Pengertian
pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu.
Pengertian
kedua, berarti kesepakatan.
Perbedaan arti yang pertama dengan yang
kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari
satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para
mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasulullah SAW atas hukum
syara.
Adapun
pengertian Ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat
perbedaan rumusan yang mana terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan
itu.
Kehujjahan ijma'
Ijma' menjadi hujah (pegangan) dengan sendirinya
ditempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al-Qur-an dan Al-Hadist. Dan
tidak menjadi ijma' kecuali telah disepakati oleh segala ulama Islam, dan
selama tidak menyalahi nash yang qath'i (Kitabullah dan hadist
mutawatir).
Pembagian
ijma'
Ijma'
ummat itu dibagi menjadi dua:
1.
Ijma'
qauli (ucapan); yaitu ijma' dimana para Ulama ijtihad menetapkan pendapatnya
baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat
mujtahid lain dimasanya. Ijma' ini disebut juga ijma' qath'i.
2.
Ijma'
sukuti (diam); ialah ijma' dimana para Ulama ijtihad berdiam diri tiada
mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut
atau malu. Ijma'
ini disebut juga ijma' dzanni. Sebagian ulama berpendapat, bahwa suatu penetapan jika
yang menetapkan hakim yang berkuasa dan didiamkan
oleh para Ulama, belum
dapat dijadikan hujjah. Tetapi
sesuatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang Faqih, lalu
didiamkan para Ulama yang lain maka dapat dipandang ijma'.
Ijma’ dalam rumusan Al-Ghozali
“Kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas suatu
urusan agama”
Pandangan
Imam Al-Ghozali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang menetapkan Ijma’ itu
sebagai kesepakatan umat. Yang mana di dasarkan pada keyakinan bahwa yang
terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan.
Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami perubahan dan perkembangan ditangan
pengikutnya di kemudian hari.
Rukun Ijma’
Adapun rukun ijma’ dalam
definisi di atas adalah adanya kesepakatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’
itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.
Tidak
cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’
dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang
lain.
2.
Adanya
kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan
melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum
syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja,
mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan
khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan
kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3.
Hendaknya
kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat
yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.
Kesepakatan
itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar
mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’
sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka
tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan
mengikat.
Syarat Mujtahid
Para Mujtahid hendaknya minimal memiliki 3
syarat:
•
Syarat pertama, memiliki
pengetahuan sebagai berikut:
a)
Memiliki
pengetahuan tentang Al Qur’an.
b)
Memiliki
pengetahuan tentang Sunnah.
c)
Memiliki
pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
•
Syarat
kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fiqh.
•
Syarat
ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah
menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan
cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Para ulama
ushul
juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukum.
Contoh :
•
hukum
meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya
haram. Sebagaimana firman Allah Swt Qs.5:90.
“Haramnya meminum
khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang
terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman
tersebut adalah haram.
Kehujjahan
Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa
qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik
dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara
analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya
menjadi hukum syar’i.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun
yang terdiri dari empat hal:
1.
Asal (pokok). Yaitu, apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut
dengan al-maqis alaihi.
2.
Fara’
(cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula
al-maqîs.
3.
Hukm
al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4.
Illat,
adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
Hukum Ta’lifi dan Hukum Wadh’i
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:
Artinya:
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang
dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan
sesuatu sebagai sebab,syarat, dan penghalang.”
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan.
Contoh firman Allah SWT. yang bersifat menuntut untuk melakukan
perbuatan:
Artinya:
“dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat.” (An-Nur : 56)
Contoh
firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil.” (Al-Baqarah: 188)
Contoh firman Allah yang bersifat memilih (fakultatif):
Artinya: “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. “(QS. Al-Baqarah : 187)
Bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut jumhur ulama Ushul
Fiqh/Mutakalimin ada lima macam,
yaitu ijab, nadb,
ibahah, karahah, dan tahrim.
1.
Ijab Yaitu tuntutan syar’i
yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang
yang meninggalkannya dikenai sangsi. Misalnya, dalam surat An-Nur : 56
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…..”
2.
Nadb Yaitu tuntutan untuk
melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai
anjuran, sehingga seseorang tidak
dilarang untuk meninggalkannya. Orang
yang meninggalkannya tidak
dikenai hukuman. Yang
dituntut untuk dikerjakan
itu disebut mandub.
3.
Ibahah Yaitu
khithab Allah yang bersifat
fakultatif, mengandung pilihan
antara berbuat atau tidak berbuat secara sama.
Akibat dari khithab Allah ini
disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut
mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2:
Artinya: “Apabila kamu telah
selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu.”
4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan
itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang
mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai
hukuman.
Contoh
: Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu
Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)
5.
Tahrim Yaitu
tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.
Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut
dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am : 151:
Artinya: “…. Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan
Allah…”
Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut
untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu
yang lain.
Macam-macam Hukum Wadh’i:
a.
Sebab Menurut bahasa adalah
sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang
dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang
dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.
Contoh
firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
Artinya:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” (Al-Isra : 78)
Pada
ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.
Syarat Yaitu
sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syara’ tidak ada,
hokum pun tidak ada, tetapi adanya syarat
tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
Contoh
firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
Artinya
:”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
(QS. An-Nisa: 6)
Ayat
tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian
atas dirinya.
a.
Mani’ (penghalang) Yaitu
sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Contoh
khithab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang:
Artinya
: “Pembunuh tidak mendapat waris.”