FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Pengantar
Manusia telah mampu mewujudkan
prestasi ilmiahnya secara teori dan praktik di abad ke-20 ini, yang 10% atau
bahkan 0,1% dari prestasi-prestasi ilmiah itu belum mampu diwujudkan pada
abad-abad sebelumnya (Yusuf Qardhawi,
2001:21). Bahkan dalam 300 tahun terakhir ini, ilmu pengetahuan merupakan
sumber dari penemuan-penemuan teknologi yang tak ada habisnya (Franz Dahler dan Eka Budianta, 2000:175).
Menapak abad ke-21, seiring dengan masuknya ke millennium III perkembangan
penerapan ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi mengalami percepatan yang tak
pernah terjadi sebelumnya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya,
abad ke-21 membawa peradaban manusia memasuki era global. Sedangkan proses
globalisasi itu sendiri terus berlangsung.
Produk ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadikan kehidupan masyarakat dunia di era global bagaikan menyatu
dalam satu kota, yakni kota dunia. Batas-batas Negara sudah tidak menjadi
penghalang bagi manusia untuk saling berhubungan. Kehidupan di era global
saling pengaruh-mempengaruhi, sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap
hanya milik suatu Negara tertentu, akan menyebar luas hingga menjadi milik
bersama. Hal ini bukan hanya berlaku pada produk ilmu pengetahuan dan teknologi
saja, melainkan juga termasuk unsur politik, ideologi, kebudayaan maupun krisis
manusia.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang disandangnya, era global seakan berada pada titik puncak dari lintasan
perjalanan sejarah peradaban manusia sejagat. Peradaban yang oleh Marshall G.S.Hodgson disebut sebagai
kebudayaan gabungan, yakni suatu pengelompokan yang relative luas dari
kebudayaan-kebudayaan yang berkaitan (Marshall
G.S. Hodgson, 1999:126). Dengan demikian, betapapun kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, terwujudnya era global bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri,
lahir begitu saja secara spontan. Sebagai sebuah peradaban, era global
merupakan gabungan dari berbagai unsure kebudayaan yang menyatu, setelah
melalui proses perjalanan yang panjang.
Seberapapun tingginya pencapaian
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era global tidaklah
muncul secara seketika. Terwujud secara spontan. Semuanya berlangsung
dirangkaian proses tanpa henti. Akan terus berlangsung mulai dari terbentuk
peradaban awal, hingga berakhirnya kehidupan manusia. Perosesnya berjalan
seiring dengan pertumbuhan, maupun perkembangan peradaban manusia itu sendiri.
Peradaban yang didukung oleh hasil pemikiran inovatif, temuan, maupun
kreativitas manusia pada tahap-tahap tertentu disepanjang perjalanan sejarah
manusia dan kemanusiaan. Dirangkaian tahap-tahap itu pula kemudian lahir
peradaban-peradaban besar yang umum dikenal seperti peradaban sumerisme
(peradaban kota berdasarkan keagrarian) di kurun waktu 5.000 tahun silam,
peradaban modern dan teknikalismenya di pertengahan abad ke-18, (Nurcholish Madjid, 1984:50-54), serta
era global di kurun millennium III, sekarang. Semuanya itu adalah produk yang
dilahirkan oleh pemikiran dan kretaivitas manusia.
Sebagai makhluk yang berakal,
manusia selalu diliputi rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu (sense of curiosity) itu
sendiri memang merupakan salah satu dari potensi yang ada dalam diri manusia.
Dengan adanya potensi ini manusia menjadi makhluk yang tak pernah merasa
“puas”. Selalu ingin bertanya tentang sesuatu. Manusia bertanya-tanya karena
adanya kegelisahan berpikir, karena kenyataan yang tidak jelas, disamping rasa
heran, manusia menjadi bertanya pada diri sendiri secara heran (Conny R. Semiawan, 1988:34).
Melalui berbagai pengalaman,
kemudian manusia berhasil “memuaskan” sementara tuntutan rasa ingin tahu itu.
Belajar dari pengalaman sendiri ini lazim disebut trial and eror atau coba dan salah, dan mencobanya lagi (Sukardi, 2011:10). Dalam pandangan
Suparlan Suhartono, perkembangan ilmu pengetahuan itu atas dasar kodrat manusia
yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup dan kehidupannya. Pada mulanya
kebutuhan manusia masih sangat sederhana dan dapat terpenuhi, oleh alam dan
sumber dayanya. Namun, kemudian berkembang menjadi semakin kompleks, yang upaya
pemenuhan kebutuhan itu ditentukan oleh kemampuan kreativitas (Suparlan Suhartono:93).
Hubungan antara ilmu pengetahuan
dengan kodrat manusia ini, adalah bersifat hubungan dialektika. Kebutuhan hidup
manusia yang ternyata bergerak baik secara kuantitatif maupun kualitatif,
mendorong perkembangan pengetahuan menjadi semakin plural, metodis,sistematis,
untuk kemudian ditingkatkan menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis (Suparlan Suhartono, 2005:93). Selain
itu, kajian berdasarkan objek forma, yang menjadikan ilmu pengetahuan berjenis,
bersifat, dan berbentuk khusus, jelas dan konkret (Suparlan Suhartono:69), juga tak dapat dilepaskan dari proses
pluralisasi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan datangnya zaman Renaissance
abad ke-16 dan abad pencerahan (enlightenment), terjadi pertumbuhan ilmu
pengetahuan yang terus mengalami percepatan hingga sekarang (Franz Dahler dan Eka Budianta, 2000:175).
Perkembangan ini bagaikan
menampilkan “wajah seram” modernisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi, seakan
tidak lagi diperuntukkan bagi kemaslahatan manusia dalam meningkatkan
peradabannya. Di tengah kecenasan yang hampir tak pernah ditemukan solusinya
itu, mencuat berbagai pertanyaan seputar dampak ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini memunculkan kesadaran dan keinginan yang mengakar pada diri manusia
untuk mendapatkan jawaban atas masalahnya yang bersifat jelas-lengkap dan
universal (Anton Bakker dan Achmad
Charris Zubair, 1990:33).
Soedjatmoko
mengemukakan:
“pertanyaan-pertanyaan
itu berkisar sekitar masalah sampai dimana manusia bisa mngendalikan kembali
ilmu dan teknologi, sehingga jalannya tidak menurut kemauannya dan momentumnya
sendiri saja, melainkan melayani keperluan manusia dan keselamatan manusia.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai diri sendiri, mengenai tujuan-tujuannya, dan
mengenai cara-cara pengembangannya, tidak dapat lagi dijawab oleh ilmu
teknologi tanpa referensi kepada patokan-patokan mengenai moralitas dan makna,
serta tujuan hidup manusia, termasuk mengenai yang baik dan yang batil dalam
kehidupan manusia modern” (Soedjatmoko,
1984:203).
“Geliat kekhawatiran” ini pula yang
ikut mendorong para ilmuwan untuk “menyapa” kembali nilai-nilai kebijaksanaan
filsafat. Berupaya untuk merintis jalan guna mengembalikan ilmu pengetahuan ke
filsafat sebagai induk segala ilmu. Denagn kembali “ke pangkuan” sang ibu,
diharapkan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin terhindar dari “sikap
liar”nya yang bakal “menodai” nilai-nilai kemanusiaan. Disadari, bahwa tidak setiap
masalah manusia dapat diselesaikan oleh salah satu didiplin ilmu pengetahuan
secara sendiri, dengan otonom, tertutup, serta terpisah dari disiplin ilmu
lainnya. Justru manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya, merupakan
titik temu dari berbagai disiplin ilmu (Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair:33).
Proses rintisan ini merupakan
langkah awal dari lahirnya disiplin filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science). Dengan demikian,
filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang study filsafat yang objek
materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis, bentuk, dan sifatnya (Suparlan Suhartono, 2005:23). Filsafat
ilmu pengetahuan adalah suatu disiplin yang di dalamnya konsep-konsep dan
teori-teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan (Conny R. Semiawan:44-45). Dengan demikian, filsafat ilmu
pengetahuan merupakan telaah secara filsafat untuk menjawab mengenai hakikat
ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu pengetahuan ruang
lingkupnya tidak hanya pada ilmu-ilmu
yang rasional dan empirik saja, melainkan tembus pada dunia metafisik
suprarasional dan intuitif. Fungsinya adalah sebagai pengendali moral dari
pluralitas keberadaan ilmu pengetahuan. Sebagai studi bidang filsafat praktis
yang bersifat normatif, maka filsafat ilmu pengetahuan berkepentingan pada
nilai kebenaran ilmiah dan kegunaannya (Suparlan
Suhartono:26-27). Sejalan dengan kajian filsafat itu sendiri, maka ruang
lingkup telaah filsafat ilmu pengetahuan mengacu pada hakikat ilmu pengetahuan
itu sendiri: hakikat apa yang dikaji, cara mendapatkan pengetahuan yang benar,
serta nilai kegunaannya.
Perkembangan dan Pengertian
Filsafat
Dalam sejumlah literatur yang
membahas tentang filsafat dijelaskan, bahwa filsafat berkembang dari munculnya
kesadaran manusia terhadap potensi dirinya, khususnya akal budi. Awal pemikiran
filsafat muncul sebagai reaksi keras terhadap kungkungan mitologi, dimana
manusia dibelenggu oleh kepercayaan bahwa kehidupan alam dikuasai oleh
makhluk-makhluk gaib yang dimunculkan oleh mitos. Kesadaran mistis dekat dengan
animism, yaitu kepercayaan akan adanya jiwa-jiwa, roh-roh yang mendiami,
menghidupi alam. Roh-roh itu ditakuti, dihormati, diberi korban dan sajen,
dimintai permohonan berkat (Franz Dahler
dan Eka Budianta:279). Kepercayaan ini menyebabkan manusia menempatkan
dirinya sebagai “pengabdi” dan “pemuja” para makhluk-makhluk rohaniah penguasa
alam yang mereka sebut sebagai “dewa”.
Perkembangan kesadaran rasional dari
kesadaran magis-mistis ini merupakan loncatan yang mempengaruhi sejarah. Menurut
Franz Dahler dan Eka Budianta, perkembangan kesadaran rasional atau filsafat
ini mulai dari tahun 1200 SM di Tiongkok, kemudian juga di India, dan Yunani.
Puncak pertamanya tecapai sekitar abad ke-6 dan ke-5 Se belum Masehi. Para
perintisnya antara lain Lao Tse, Konfucius, Budha, Thales, Plato, Aristoteles (Franz Dahler dan Eka Budianta:281). Hal
ini menunjukkan bahwa tokoh filsafat alam bukan milik tunggal bangsa Yunan,
melainkan juga di dunia timur. Namun sayangnya, pemikiran-pemikiran para filsuf
Timur ini kurang banyak dikenal, hingga tidak sempat jadi rujukan sejarah
perkembangan filsafat.
Menurut Conny R. Semiawan, Thales
dari Miletus, Yunani dianggap sebagai orang pertama yang mempertanyakan alam
dan segala isinya (Conny R. Semiawan:13).
“ apa sebenarnya asal usul alam semesta?”. Pertanyaan ini dijawab berdasarkan
pendekatan rasional bukan berdasarkan pendekatan mitologi (Martini Djamaris, 2011:114). Pemikiran Thales mengawali proses
pemikiran filsafat. Oleh karena itu, dalam berbagai literatur, perkembangan
filsafat dihubungkan dengan munculnya kesadaran rasional. Kesadaran manusia
terhadap harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk berakal budi.
Pandangan seperti ini oleh para
ilmuwan selalu dihubungkan dengan kebudayaan Yunani kuno. Orang-orang Yunani
kuno berkeyakinan bahwa manusia itu adalah makhluk yang luhur yang mempunyai
kebebasan (Conny R. Semiawan:8).
Manusia menginsyafi kebebasannya, martabatnya, dan kekuatan akal pikirannya (Franz Dahler dan Eka Budianta:282).
Akibat perubahan pola pikir ini, manusia yang sebelumnya pasif dalam menghadapi
fenomena alam berubah menjadi aktif dan kritis, sehingga alam dijadikan objek
penelitian (Martini Djamaris, 2011:114).
Penelitian merupakan bagian dari
upaya manusia untuk menemukan apa yang disebut kebenaran. Sementara kebenaran
itu telah ada sebelum manusia itu ada. Ia berada di luar alam manusia.
Kebenaran itu sendiribukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus berkembang
(Yakob Sumardjo, 2000:3). Dorongan ingin tahu yang ada pada dirinya, selalu
mendorong manusia untuk terus mengembangkan “pencaharian” tersebut. Dengan
demikian, upaya untuk menemukan kebenaran itu sendiri merupakan aktivitas tanpa
henti.
Pengertian Filsafat
Pemikiran
filsafat bermula munculnya kesadaran manusia akan potensi akal budinya.
Munculnya perkembangan dalam kesadaran rasional atau filsafat mulai dari tahun
1200 SM di Tiongkok, kemudian juga ke India dan Yunani (Franz Dahler dan Eka Budianta:281). Namun dalam bergabai
literature, latar belakang pemikiran filsafat selalu mengacu ke Yunani kuno.
Tokoh-tokoh filsuf kondang dunia, juga dirujuk ke kawasan ini, termasuk
pengertian filsafat itu sendiri.
Memang selain
Yunani kuno, deberbagai kawasan sudah terdapat peradaban-peradaban yang lebih
tua yang sudah berusia ribuan tahun seperti yang dijumpai di Assyria,
Babylonia, Persia, dan Mesir. Namun mereka masih memandang manusia sebagai
makhluk remeh yang menyembah dewa dan raja-raja dengan kekuasaan absolute.
Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan orang Yunani mengenai harkat
manusia. Mereka berkeyakinan bahwa manusia itu makhluk luhur, yang mempunyai
kebebasan (Conny R Semiawan:8).
Melalui pandangan seperti ini pula tampaknya, Yunani kuno mampu melahirkan
pemikiran filsafat seperti yang dikenal sekarang.
Dikemukakan
bahwa kata filosofi (philosophy)
terambil dari kata Yunani : philo
(suka, cinta) dan shopia
(kebijaksanaan). Dengan demikian, filsafat berarti: cinta kepada kebijaksanaan
(Harold H.Titus dkk,1984:11).secara
sederhana, filsafat berarti cinta pada pengetahuan dan kebijaksanaan (Sirajuddin Zar, 2004:2). Berangkat dari
makna kata ini pula rujukan dari pengertian filsafat itu, seperti dalam bahasa
Inggris love of wisdom, dan muhibb al-hikmah (Arab), serta wijsbegeerte dalam bahasa Belanda
(Hasyimsah Nasution. 1999:1).
Sebenarnya dalam
bahasa arab, tampaknya tidak ada kata yang pas dapat dipadankan dengan kata philosophia maupun philoshopos. Dengan demikian, kata ini lazim dipadani dengan
pengertian yang secara umum dinilai mirip dengan arti filsafat. Adapun padanan
dimaksud adalah hikmah. Kata hikmah yang berarti pengetahuan dan
kebijaksanaan, karena hikmah itu menghalangi orang yang memilikinya dari
perbuatan rendah dan hina (Harifuddin
Cawidu, 1998:84).
Ternyata pengertian etimologis ini
tidak berhenti pada sebatas makna kata semata. Para pakar dalam bidang kajian
filsafat mencoba memperluas makna yang terkandung dari kata asalnya itu.
Misalnya, Beekman memperluas makna
filosofia sebagai “melihat sesuatu dengan perhatian dan minat”, kemudian
berarti pula “berpikir tentang sesuatu dan menyadarinya” (Conny R. Semiawan:33). Pengembangan makna yang serupa juga
dikemukakan John S. Brubacher dan Dogabel Runes (Mohammad Noor Syam, 1986:21), bahwa pengertian filsafat secara
etimologis cukup banyak. Berikut ini dikemukakan sejumlah pendapat yang mengacu
kepada pengertian tentang apa yang dimaksud dengan filsafat itu.
John
Brubacher mengemukakan “philosophy was, as its etymology from
Greek word filos and sofia, suggests love of wisdom or lerning. Moreover it was
love of learning in generals, it sub-sumed under one heading what today we call
sciences as well as what we now call philosophy. It is for reason that
philosophy is often refered to as the mother as well as the queen of the
sciences” (filsafat berasal dari kata Yunani filos dan sofia yang
berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari itu dapat diartikan cinta
belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan ilmu pengetahuan (sains) hanya
ada di dalam apa yang kita sebut sekarang filsafat. Untuk alasan ini sering
dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu ilmu pengetahuan.
Dogobel
Runes menyatakan “philosophy
(Gr.Pilein = to love, Sophia = wisdom) = the most general science; seeking of
wisdom thought. Originally, the rational explanation of anything, the general
principles under which all facts could be explained: in the sens
indistinguisable from science,…Now, popularly, the science of the science, the
criticism and systematization or organization of all knowledge. Drawn from
empirical science, rational learning, common experience, or whatever,”
(Filsafat berasal dari kata Yunani philein, cinta; Sophia, kebijaksanaan.
Asalnya penjelasan rasional dari sesuatu, prinsip-prinsip umum yang menerangkan
segala fakta, dalam pengertian ini tidak dapat dibedakan dengan sains
,…sekarang, secara popular diartikan sebagai ilmu dari ilmu, kritik dan
sistematisasi atau organisasi dari semua ilmu pengetahuan, yang berasal dari
ilmu empiris, pelajaran yang rasional, pengalaman biasa atau dimanapun).
Merujuk kandung makna katanya,
filsafat menyirat suatu kegiatan atau aktivitas.
Sebagai kegiatan reflektif yang
juga kegiatan akal budi, dalam bentuk perenungan dan satu tahap lebih lanjut
dari kegiatan rasional umum. Adapun yang direfleksikan itu apa saja, dengan tujuannnya untuk memperoleh kebenaran yang
mendasar, menemukan makna, dan inti dari segala inti. Dengan demikian filsafat
merupakan eksplisitas tentang hakikat realitas yang ada dalam kehidupan
manusia, yakni hakikat manusia itu sendiri, hakikat semesta, bahkan hakikat
Tuhan, baik menurut segi struktural, maupun menurut segi normatifnya (Anton Bakker Achmad Charris Zubair, 1990:15).
Perenungan terhadap hakikat sesuatu
terhadap realitas segala yang ada menunjukkan “kebebasan” aktivitas
berfilsafat. Hasilnya dari perenungan itu sndiri akan beragam. Oleh sebab itu,
adalah wajar bila penegrtian filsafat cukup banyak dan beragam pula. Para
filsuf bisa dan bebas mengemukakan pendapat mereka seputar filsafat atas dasar
sudut pandang yang berbeda. Memang berdasarkan karakteristiknya, filsafat tidak
memberi sarana-sarana, akan tetapi mengajukan pertanyaan tentang tujuan dan
tentang makna-makna, ungkap Roger Garaudy
(Roger Garaudy, 1986).
Ada yang mengemukakan bahwa
filsafat adalah sekumoulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang
biasa diterima secara tidak kritis. Filsafat juga diartikan sebagai suatu
proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi. Lalu ada yang mengatakan filsafat adalah usaha untuk mendapatkan
gambaran secara keseluruhan. Kemudian filsafat juga adalah sebagai analisis
logis dari bahasa, serta penjelasan arti kata dan konsep. Sedangkan pendapat
lain mengemukakan bahwa filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang
langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh
ahli-ahli filsafat (Harold H. Titus dkk,
1984:11-14).
Secara umum, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan apa hakikat atau sari atau
inti atau esensi segala sesuatu (Soetriono
dan Rita Hanafie, 2007:20). Filsafat adalah ilmu yang mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (Poedjawijatna,
1977:34). Kemudian filsafat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal
dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Menurut Socrates, tugas filsafat
sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun mempersoalkan jawaban (Jujun S. Suriasumantri, 1984:4).
Filsafat sebagai sutau proses yang
mempertanyakan tentang arche
(dasar) atau asal mula atau asal usul
alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos (rasio). Dengan demikian, filsafat adalah penyelidikan yang
dilakukan dalam rangka memahami hakikat alam dan realitasnya dengan
mengandalkan akal budi, jelas Socrates.
Beda dengan pendahulunya ini Plato
mendefinisikan filsafat sebagai pendidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas
yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada (Martini Djamaris:102-103).
Selanjutnya pengertian lain dari
filsafat dikemukakan oleh Beerling, Corn
Verhoeven, dan Walter Kuffmann. Beerling menyebut filsafat adalah
pemikiran yang bebas, diilhami oleh rasio, mengenai segala sesuatu yang timbul
dari pengalaman-pengalaman. Corn
Verhoeven menyatakan “filsafat adalah meradikalkan keheranan ke segala
jurusan”. Lalu menurut Walter Kuffmann
“filsafat adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan
argumentasi-argumentasi, tanpa memerlukan kekerasan dan tanpa mengetahui
hasilnya terlebih dahulu”. (Conny R.
Semiawan, 1988:37)
Dalam pandangan Harun Nasution,
filsafat ialah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak
terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga
sampai ke dasar-dasar persoalan (Harun Nasution, 1973:24). Imam Barnadib
menyebut filsafat sebagai pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Disebut
menyeluruh, karena filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu
pandangan yang dapat menembus dibalik pengetahuan itu sendiri. Melalui
pandangan yang demikian akan terbuka kemungkinan untuk menemukan hubungan
pertalian antara semua unsure yang dipertinggi, dengan mengarahkan perhatian
dan kedalaman mengenai kebijakan. Dikatakan sistematis, karena filsafat
menggunakan berpikir secara sadar, teliti, teratur, sesuai dengan hukum-hukum
yang ada (Imam Barnadib, 1982:11-12).
Menurut Imanuel Kant, filsafat adalah pokok pangkal dari segala pengetahuan
yang di dalamnya tercakup empat persoalan, yakni: 1) apakah yangdapat kita
ketahui?; 2) apa yang boleh kita kerjakan; 3) sampai dimana pengharapan kita;
dan 4) apa yang dinamakan manusia? Pertanyaan pertama dijawab oleh metafisika,
dan yang kedua dijawab oleh etika. Sedangkan pertanyaan ketiga dan keempat masing-masing
dijawab oleh agama dan antropologi (Lasiyo
dan Yuwono, 1985:6).
Filsafat adalah refleksi rasional (fikr, nazar, ma’rifat, ra’y) atau
keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah (JMW Bakker Sy, 1978:7). Dalam pandangan Harold H. Titus, filsafat, dengan
bekerjasama dengan ilmu-ilmu lainnya, dapat memainkan peran yang sentral dalam
meminpin kita ke arah keinginan-keinginan dan aspirasi-aspirasi baru (Harold H. Titus dkk:10). Selanjutnya Harold Titus merinci pengertian filsafat
sebagai berikut:
1. Filsafat
adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa
diterima secara kritis.
2. Filsafat
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3. Filsafat
adalah usaha untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan.
4. Filsafat
adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasana tentang arti kata dan
konsep.
5. Filsafat
adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari
manusia dan yang dicari jawabannya oleh ahli filsafat (Harold Titus, Smith, dan Nolan, 11-14).
Filsafat mempunyai tempat dan
kedudukan khusus. Filsafat tidak hanya terbatas pada salah satu bidang atau
lapisan kenyataan, melainkan meliputi semua dimensi yang diteliti ilmu-ilmu
lain. Filsafat bersifat total. Filsafat dipelajari menurut sebab-sebab yang
mendasar (per ultimas causas), yaitu
yang jadi objek formalnya. Hal ini berarti, bahwa semua yang diteliti menurut
dasar-dasar yang sedalam-dalamnya, menurut inti, munurut konteks yang paling
lengkap, dan menurut limit-limitnya yang paling luas (Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair:35).
Martini Djamaris merumuskan
karakteristik berpikir filsafat sebagai: 1) berpikir radikal; 2) mencari asas;
3) memburu kebenaran; 4) mencari kejelasan; dan 5) berpikir rasional. Berpikir
radikal, adalah usaha untuk menemukan suatu akar dari suatu kenyataan yang
menyeluruh atau radix. Mencari asas,
merupakan usaha yang hakiki dari realitas. Memburu kebenaran, yaitu usaha untuk
menemukan kebenaran dari hakikat sesuatu dengan cara kritis, terbuka, dan
toleren, ditinjau dari berbagai sudut pandang toleren tanpa prasangka, serta
bebas dari mitos dan legenda. Mencari kejelasan, berarti segala permasalahan
yang terkait dengan realitas dapat dijelaskan secara menyeluruh dan dipahami
dengan tuntas. Selanjutnya berpikir rasional, adalah berpikir logis, kritis,
dan sistematik (Martini Djamaris:106-108).
Awalnya pokok permasalahan yang
dikaji filsafat mencakup tiga segi, yaitu logika, etika, dan estetika.
Selanjutnya berkembang ke teori tentang ada: menyangkut hakikat tentang
keberadaan zat, pikiran, serta keterkaitan antara zat dan pikiran yang
terangkum dalam metafisika.
Berikutnya politik, yakni kajian
mengenai organisasi social/pemerintahan yang ideal. Lima cabang utama filsafat
ini kemudian berkembang ke cabang-cabang yang lebih spesifik, termasuk filsafat
ilmu. Adapun cabang-cabang filsafat dimaksud adalah: 1) filsafat ilmu
pengetahuan (epistemologi); 2) filsafat moral (etika); 3) filsafat seni
(estetika); metafisika; 5) filsafat pemerintahan (politik); 6) filsafat agama;
7) filsafat ilmu; 8) filsafat pendidikan; 9) filsafat hukum; 10) filsafat
sejarah; dan 11) filsafat matematika (Jujun
S. Suriasumantri, 2000:32-33).
Mencermati berbagai definisi yang
dikemukakan, secara garis besarnya filsafat berhubungan dengan upaya menemukan
kebenaran tentang hakikat sesuatu yang ada melalui penggunaan kemampuan akal
secara optimal. Kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran filsafat adalah
jawaban-jawaban dalam bentuk gagasan (ide). Tujuannya adalah mencapai kebenaran
yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dalam sistem konseptual. Kegunaannya adalah
untuk kearifan hidup (Yakob Sumardjo:5).
Cirri-ciri pemikiran flsafat adalah: 1) deskriptif; 2) kritis dan analisis; 3)
evaluatif dan normatif; 4) spekulatif; 5) sistematis; 6) mendalam; 7) mendasar;
dan 8) menyeluruh (Sotriono dan Rita
Hanafie:21).
Kebenaran yang dihasilkan oleh
filsafat, selain bersifat abstrak. Juga spekulatif. Dengan berbekal kearifan
filsafat, manusia belum mampu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hidup yang
bersifat konkret. Filsafat mengerti apa yang seharusnya menjadi kebutuhan hidup
sehari-hari, tetapi filsafat tidak mampu mengetahui bagaimana cara
mengadakannya (Suparlan Suhartono,
2000:17). Melalui lembaga ilmu pengetahuan, manusia dapat mengupayakan
hasil yang bersifat konkret, empiric, dan didasarkan atas fakta apa adanya (Yakob Sumardjo:5). Hanya dengan ilmu
pengetahuan, maka kebutuhan manusia yang bersifat nyata, konkret dan khusus,
dapat dipenuhi (Suparlan Suhartono:17).
Dirangkaian “penjelajahan” ini pula rasa ingin tahu manusia dalam upaya
menemukan kebenaran melahirkan lembaga baru, yakni ilmu pengetahuan.
Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta
mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan intuisi dan kepercayaan (Mulyadhi Kartanegara, 2003:2). Ilmu
pengetahuan yang dimaksud dengan sains (science)
adalah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan bersifat ilmu, secara ilmu
pengetahuan, memenuhi syarat (hukum) ilmu pengetahuan (KBBI, 1990:324). Dengan
demikian, hanya pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat dimaksud bisa disebut
sebagai sains (ilmu pengetahuan). Di luar ketentuan ini, segala bentuk
pengetahuan tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan. Selanjutnya akan dikemukakan
sejumlah pendapat mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan ilmu
pengetahuan.
Dalam pandangan Van Puersen yang disebut ilmu
pengetahuan (sains), ialah pengetahuan yang terorganisasi, yaitu dengan sistem
dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan tetap diantara gejala-gejala (C.A. Van Puersen, 1985:16). Achmad
Baiquni mengemukakan pengertian singkat ilmu pengetahuan atau sains, sebagai
himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan
dapat diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar. Jadi kita dapat mengatakan
bahwa sains adalah himpunan rasionalitas kolektif insane (Achmad Baiquni,
1983:1).
Selanjutnya Cohen menyatakan “a scientific is ideally, a universal empirical statement; which assert
causal connection between two or more types of event” (Louis Lawrence Chohen, 2011:69). Ilmu pengetahuan itu sendiri
perlu ditopang oleh cirri yang berlandaskan asas ilmiah dan kaidah ilmiah.
Adapun yang dimaksud dengan asas ilmiah, yakni proposisi yang mengandung
kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati (observasi ilmiah).
Observasi ilmiah sebagai manifestasi dari metode ilmiah secara murni yang
sepenuhnya didasarkan pada rasio atau empiri.
Dengan demikian, subtektivitas dan kehidupan emosi dikesampingkan (Conny R. Semiawan:78). Sedangkan kaidah
ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tata
tertib yang konsisten dan sistematis.
Dalam
penjelasannya, Prof. Dr. A. Baiquni mengemukakan bagaimana proses memperoleh
ilmu pengetahuan tersebut. Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural,
orang mengumpulkan pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi,
pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar. Data mengenai yang hidup
seperti manusia, binatang, dan tumbuhan ataupun yang tak bernyawa seperti
bintang, matahari, gunung, dan benda-benda di sekitar kita. Selanjutnya data
pengukuran gejala alamiah itu dianalisis, kemudian diambil kesimpulannya yang
dapat diterima dalam penalaran (A,Baiquni,
1983:1-2). Dalam proses tersebut ada langkah-langkah dan pertahapan yang
dilakukan. Semuanya dilakukan tersusun secara sistematis.
Ilmu pengetahuan
(sains), juga disebut sebagai pengetahuan sistematis dan berasal dari
observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan
sifat-sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji (Mulydhi Kartanegara, 2003:2). Jadi ada system tertentu. System
sebagai suatu keadaan atau sesuatu tertentu yang bagian-bagiannya saling
berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Adanya
hubungan atau saling ketergantungan ini adalah dalam rangka pembentukan suatu
keseluruhan yang utuh (Suparlan
Suhartono, 2005:78-79).
Dalam hubungan
dengan system tersebut, Soejono Soemargono, mengemukakan ada enam jenis system yang lazim dipakai dalam ilmu
pengetahuan, yakni 1) system tertutup; 2) system terbuka; 3) system alami; 4)
system buatan; 5) system berbentuk lingkaran; dan 6) system berbentuk garis
lurus (Suparlan Suhartono:79-81).
System tertutup lebih banyak berhubungan dengan objek yang bersifat kuantitatif
dan metode penyelidikan deduktif. Adapun system terbuka banyak digunakan bagi
objek penyelidikan kualitatif dan metode induktif (Suparlan Suhartono:79-80).
Dedi Supriadi
yang mengadopsi sains sebagai ilmu pengetahuan, mengemukakan beberarapa cirri
standar. Pertama, dalam pengertian
sempit yang ditandai oleh generalitas yang luas dan daya prediksi yang akurat. Kedua, ilmu pengetahuan mengimplikasikan
kemampuan untuk melakukan eksperimen terkendali (controlled experiment) dalam rangka menguji teori dan hipotesis. Ketiga, ilmu pengetahuan dipahami
berdasarkan dimensi pasifnya, yakni mengacu pada akumulasi fakta dan informasi,
sehingga membentuk suatu sistematika. Keempat,
ilmu pengetahuan dipandang dari dimensi aktifnya, yang lebih dari hanya
akumulasi informasi, fakta, konsep, teori, atau paradigm melainkan system
berpikir.
Kelima,
dalam konteks kreativitas keilmuan, ilmu pengetahuan dimaknakan sebagai system
berpikir yang melibatkan serangkaian aktivitas kreatif dan imajinatif ilmuwan
dalam upaya mencari kebenaran sedangkan menurut Golstein, ilmu merupakan cara memandang dunia, memahami, dan
mengubahnya. Dengan ilmu pengetahuan manusia berupaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai gejala alam dan manusia dengan
menggunakan metode ilmiah.
Ilmu pengetahuan
pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang diperoleh manusia dari berbagai
sumber. Pengetahuan-pengetahuan itu diperoleh dnegan menggunakan metode
tertentu, yakni metode ilmiah. Hasil dari semuanya itu kemudian disusun secara
sistematis. Selanjutnya dilakukan verifikasi (diuji) kebenarannya secara
empiris. Kebenarannya dapat dibuktikan secara konkret yang didasarkan atas
pengalaman nyata.
Bidang Kajian Filsafat Ilmu
Pengetahuan
Filsafat
sebagai suatu cara pencarian kebijakan memiliki cabang-cabnagnya yang saling
berkaitan. Lapangan akal pikiran dalam filsafat meliputi ontology,
epistimologi, dan aksiologi. Seperti dimaklumi, bahwa filsafat ilmu pengetahuan
merupakan cabang dari filsafat yang bersifat otonom. Sejalan dengan hal itu,
maka kajian filsafat ilmu pengetahuan adalah telaahan secara filsafat tentang
hakikat ilmu pengetahuan. Adapun hakikat ilmu pengetahuan tersebut mengacu
kepada jawaban terhadap pertanyaan: apa, bagaimana, dan untuk apa?
Pertanyaan pertama mengacu pada
jawaban tentang apa hakikat ilmu pengetahuan itu. Pertanyaan ini menurut
jawaban berupa substansi atau diri (hakikat) objek yang diketahui. Adapun
pertanyaan berikutnya, yakni bagaimana, berhubungan dengan proses dan cara yang
digunakan untuk menemukan dan memperoleh ilmu pengetahuan itu. Selanjutnya,
jawaban dari pertanyaan untuk apa, terkait dengan kegunaan atau pemanfaatan
ilmu pengetahuan, yakni nilai kegunaan ilmu pengetahuan itu sendiri (Jujun S. Suriasumantri, 2000:227).
Ketiga pertanyaan tersebut dijadikan bidang kajian filsafat ilmu pengetahuan,
yakni ontology, epistemology, dan aksiologi.
1.
Ontologi
Ontologi berasal
dari kata Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi ontologi
adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya (Suparlan Suhartono:111). Kata Yunani onto berarti “yang ada secara nyata”, kenyataan yang sesungguhnya (Nadiroh:142). Ontology adalah ilmu
mengkaji tentang hakikat ilmu. Hakikat apa yang dikaji. Dikemukakan pula bahwa
ontology ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran
rasioanal atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas
dari persepsi tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (Nadiroh, 2011:143).
Adapun yang
dimaksud dengan ontology adalah kajian yang memusatkan diri pada pemecahan
esensi sesuatu atau wujud, tentang asas-asasnya dan relalitas (Hafiz Ghulam Sarwa, 1976:25). Asas-asas
tentang sesuatu wujud yang nyata. Keberadaan dan realitasnya dapat dicermati
dan ditangkap oleh panca indera manusia. Dengan demikian, ontology adalah
telaah secara filsafat yang ingin menjawab objek apa yang ditelaah oleh ilmu?
Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut
dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan?
Dikemukakan
bahwa ontology menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang
sangat terbatas bagi panca indera kita. Nagaimana realita yang ada ini, adalah
materi semata, apakah wujudnya bersifat tetap, kekal tanpa perubahan? Juga
apakah realita itu juga berbentuk dari satu unsure (monisme), dua unsure
(dualisme), atau banyak unsure (pluralisme). Dengan demikian, alam semesta ini
sebagai sebuah realita apakah juga berhakikat ministik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah. Juga apakah
alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual)
atau kemungkinan (potency).
Dengan demikian
ontology membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan
manusia secara rasional yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah
ontology terdapat pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Manakala ruang
kajian ontology tidak semata-mata dihubungkan dengan panca indera manusia,
melainkan juga pikiran (rasio), maka objek telaahnya menjadi tidak terbatas
pada “wujud” materi semata. Tidak hanya objek yang bersifat fisik materi, tapi
juga mencakup objek yang metafisik (metafisika).
Cabang utama
metafisika adalah ontology, yakni studi mengenai kategorisasi benda-benda di
alam dan hubungn antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya
memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan,
kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan (Nadiraoh:139). Disamping itu, metafisika
juga merupakan kajian tentang keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat
kaitan zat dengan pikiran. Jadi disini terjelaskan, kalau objek kajian ilmu
pengetahuan dalam tataran ontologism, tidak hanya menyangkut dan terbatas pada
jangkauan panca indera manusia, melainkan juga akal pikiran (rasio) manusia.
Penafsiran metafisika
keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontology sebagaimana
adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Melalui
pemahaman seperti ini, maka penempatan aspek-aspek yang bersifat metafisik ke
dalam objek kajian ilmu pengetahuan
menjadi “legal” dan “mulus”. Kajian mengenai kejiwaan (metafisik),
dideduksi ke gejala-gejala kejiwaan yang dapat diverifikasi secara fisik.
Demikian pula kajian tentang energy listrik (metafisik), dideduksi ke
satuan-satuan daya atau kekuatan. Satuan kekuatan daya seperti megawatt,
kilowatt, atau watt, secara fisik juga bisa diverifikasi. Deduksi-deduksi
serupa juga berlaku bagi kajian fenomena, kasus, ataupun gejala alam lainnya.
Selanjutnya
Nadiroh mengemukakan pandangan
Aristoteles tentang objek metafisika, yakni: 1) ada sebagai yang ada, dan 2)
ada sebagai yang Ilahi. Yang pertama
adalah pengetahuan yang mengkaji tentang itu dalam bentuk yang
semurni-murninya, bahwa benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan,
yang bisa ditangkap panca indera. Sedangkan objek yang kedua, adalah keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung kepada
yang lain, yakni Tuhan. Illahi berarti tidak dapat ditangkap dengan panca
indera.
Dalam pengertian
yang lebih luas, secara garis besarnya, pengertian ontology dapat dirumuskan
menjadi: 1) ontology adalah studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang
ciri-ciri esensial dari yang ada dari arti dirinya sendiri, menurut bentuknya
yang paling abstrak; 2) ontology adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan
menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau
potensialitas, nyata atau penampakan, esensin atau eksistensi, kesempurnaan,
ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya; 3) ontology adalah cabang filsafat
yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang
Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang bergantung
kepada-Nya, dan 4) ontology adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan
sebagainya (Suparlan Suhartono:111-112).
Berdasarkan
penjelasan di atas, bidang ontology membatasi diri pada objek apa yang dikaji
oleh ilmu pengetahuan. Ontology membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang
dapat dipikrkan manusia secara rasional dan dapat diamati melalui panca indera
manusia. Menurut Nadiroh, beberapa pertanyaan dalam kajian ontology adalah:
a. Apakah
yang dimaksud dengan ada, keberadaan, dan eksistensi itu?
b. Bagaimana
penggolongan dari ada, keberadaan, dan eksistensi itu?
c. Apa
sifat dasar (nature) kenyataan atau
keberadaan?
Pada
saat ilmu pengetahuan berkembang, pada tahap ontologism ini manusia berpendapat
bahwa terdapat hokum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang
menguasai gejala-gejala empiris. Dalam menghadapi masalah tertentu manusia
mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut. Membatasi pada
masalah yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian
menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Jelasnya, secara ontologism objek
ilmu pengetahuan adalah berupa wujud, fakta, gejala, ataupun peristiwa yang
dapat diindera maupaun dipikirkan manusia.
2.
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari kata Yunani episteme yang berarti “pengetahuan”.
“pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos berarti teori (Nadiroh:147). Dengan demikian, secara
etimologis, epistemologis dapat diartikan sebagai teori ilmu pengetahuan.
Sebagai cabang filsafat, epistemologi menyelidiki asal, sifat, metode, dan
bahasan pengetahuan manusia. Epistemology juga disebut sebagai teori
pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemology sebagai teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses
yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Sebab pengetahuan
didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Persoalan pokok
etimologi adalah menyangkut persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana
cara mengetahuinya, “what can we know,
and how do we know it.” Jadi masalah pokok etimologi menyangkut “belief, understanding, reason, judgement,
sensasion, imagination, supposing, guesting, learning and forgetting (Suparlan Suhartono:117). Epistemologi
adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengacu
pada proses. Dalam pandangan epistemology, setiap pengetahuan merupakan hasil
dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia (Salam B., 1988:19).
Secara lebih
rinci cakupan epistemologi dikemukakan Jujun S. Suriasumantri: Bagaimana proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan
yang benar? Apakah yang disebut kebenaran itu, dan apa kriterianya? Cara,
teknik, dan sarana apa yang membantu kita mendapatkan pengetahuanberupa ilmu?
Lebih jauh,
epistemology dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitas) pengetahuan. Bila
dalam filsafat pertanyaan pokonya adalah “apakah ada itu?”, maka dalam
epistemology pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui” (Nadiroh:147). Selanjutnya dikemukakan
oleh Prof. Dr. Nadiroh, bahwa persoalan-persoalan epistemology adalah:
a. Apakah
pengetahuan itu?
b. Bagaimanakah
manusia dapat mengetahui sesuatu?
c. Dari
mana pengetahuan itu dapat diperoleh?
d. Bagaimanakah
validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
e. Apa
perbedaan antara pengetahuan a-priori
(pengetahuan pra-pengalaman) dengan a
posteriori (pengetahuan purna pengalaman)?
f. Apa
perbedaan diantara : kepercayaan, pengetahuan, pendapat, kenyataan, fakta,
kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, dan kepastian?
Semua
pengetahuan berusaha menemukan kebenaran. Apa yang dapat diketahui tentang
kebenaran. Epistemology merupakan suatu bidang filsafat nilai yang
mempersoalkan tentang hakikat kebenaran (Suparlan
Suhartono:118). Sebagai sebuah prosedur, epistemology memiliki berbagai perangkat
dalam upaya membantu kita memperoleh ilmu pengetahuan yang benar. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Namun
karena pendapat tentang kebenaran itu sendiri berbeda, sesuai dengan
kriterianya masing-masing, maka dalam epistemology metode yang digunakan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan itu juga mengalami perbedaan.
Sehubungan
dengan itu, maka proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran secara
epistemologis harus ditopang dengan system. Dengan adanya system, akan
terbentuk hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian, sehingga
membentuk suatu keseluruhan. Oleh karena itu, penyelidikan masa kini pada
filsafat ilmu tidak lagi memuat upaya prasangka terhadap persoalan utama, yakni
metode-metode analisis logis sajakah yang sah, ataukah yang lainnya.
Memang
untuk menyatukan kebenaran yang bersumber dari sudut pandang yang berbeda bukan
hal yang mudah. Apalagi dalam filsafat ilmu pengetahuan dikenal adanya berbagai
aliran, yakni: aliran rasionalisme yang ditokohkan kepada Renes Descartes, aliran empirisme dengan tokohnya John Locke, aliran positivism oleh Auguste Comte dan neopositivisme oleh Karl Raimund Popper, maupun kritisme
oleh Immanuel Kant (Nusa Putra: 166-174). Setiap aliran ini
memiliki konsep masing-masing filsafat ilmu pengetahuan. Walaupun demikian,
dengan terwujudnya pemahaman yang berlandaskan sebuah system, barangkali jurang
perbedaan yang terjadi, setidaknya dapat dipersempit atau terjembatani.
3.
Aksiologi
Merujuk ke asal
katanya, aksiologi tersusun dari kata bahasa Yunani axios dan logos. Axios berarti nilai dan logos artinya teori. Aksiologi adalah
“teori tentang nilai” (Nadiroh:154). Nilai merupakan realitas yang abstrak yang
berfungsi sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman
dalam hidup. Nilai menempati kedudukan
penting dalam kehidupan seseorang,
sampai pada suatu tingkat dimana sementara orang lebih siap mengorbankan hidup ketimbang
mengorbankan nilai. Nilai dapat dilacak dari tiga realitas, yakni: pola tingkah
laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok.
Menurut Max Scheler, nilai-nilai itu terbangun
dalam empat peringkat, yakni: 1) nilai-nilai kenikmatan; 2) nilai-nilai
kehidupan (kesehatan, kebugaran, kesejahteraan umum; 3) nilai-nilai kejiwaan
(keindahan, kebenaran, pengetahuan murni yang dicapai filsafat, dan 4)
nilai-nilai kerohanian (suci, tak suci). Manusia memahami nilai-nilai dengan
hatinya, bukan dengan akal budinya. Lebih jauh dikemukakan, bahwa nilai sebagai
suatu kata benda abstrak mengandung dua pengertian. Dalam pengertian terbatas
(sempit), berupa sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Dalam pengertuan luas,
nilai mengacu kepada kewajiban, kebenaran, dan kesucian (Nadiroh:155).
Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu pengetahuan.
Seperti dimaklumi, bahwa ilmu pengetahuan ditujukan untuk kepentingan hidup
manusia. Ilmu pengetahuan membantu manusia mengatasi permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia mampu
mengobservasi, memperediksi, memanipulasi, dan menguasai alam.
Memang sejatinya
ilmu pengetahuan digunakan bagi sebesar-besar manfaat manusia. Manfaat bagi
kehidupan manusia sebagai makhluk berperadaban yang memiliki harkat dan
martabat. Pengguanan produk ilmu pengetahuan semestinya diarahkan pada upaya
peningkatan peradaban, sejalan dengan nilai kemanusiaan yang berlaku. Jadi
bukan sebaliknya. Manakala berhadapan dengan penggunaan ilmu pengetahuan ini
pula sebenarnya masalah nilai mulai dipertanyakan. Apakah penggunaan ilmu
pengetahuanitu bebas nilai, atau terikat kepada nilai-nilai tertentu?
Permasalahan ini
kemudian mengacu kepada sejumlah pertanyaan. Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? (Jujun S. Suriasumantri:33-34).
Menyikapi
pertanyaan seputar kegunaan ilmu pengetahuan ini, menurut Jujun S.
Suriasumantri, para ilmuwan berbeda pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan
tradisi kenetralan ilmu secara total seperti padawaktu era Galileo. Golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan itu secara
pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan ini
berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan kepada kebaikan manusia
tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Golongan pertama
yang dikenal sebagai kaum positivism sebagai yang bersikeras bahwa ilmu bebas
nilai. Positivism bersikeras mempertahankan antara pertimbangan nilai dan pertimbangan
factual. Sampai-sampai neopositivisme secara ekstrem mengatakan, bahwa
pembicaraan tentang nilai tidak bermakna, karena tidak dapat diverifikasi,
diuji secara empiris.
Sebaliknya
golongan antipositivisme, seperti Gunnar
Myrdal bersiteguh, bahwa analisis keilmuan terhadap gejala-gejala manusia
dan kemasyarakatan tidak pernah dapat dibebaskan dari pengandaian-pengandaian
yang mengandung penilaian. Bagi Myrdal
yang penting adalah bagaimana membuat nilai-nilai itu dibeberkan secara terbuka
dan dipertanggungjawabkan. Jadi, bukan dengan menutup-nutupinya dengan berbagai
terminology yang seakan bebas nilai. Ilmu tidak semata-mata disusun secara
logis dan rasional, bersifat empiris, rasionalis kritis, ataupun
konstruktivistis saja, melainkan suatu system yang terbuka dan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan
masyarakat spiritual. Material, ataupun kaitannya dengan konteks ilmu itu
sendiri.
Ketegangan ilmu
pengetahuan dan system nilai dewasa ini terasa makin sensitive sifatnya. Hal
ini terjadi karena baik cara mengusahakan ilmu pengetahuan, maupun
pemanfaatannya telah semakin berkembang, serta memunculkan tidak saja kegunaan
tetapi sekaligus ancaman bagi umat manusia. Kegemilangan yang dicapai ilmu
pengetahuan dan teknologi ini tidak hanya berhenti pada tuntutan masyarakat
sipil, tetapi juga meluas ke tuntutan dunia militer. Prestasi dalam dunia
militer ini, sebagiannya kita saksikan dalam perang teluk kedua. Sebelumnya
Amerika telah menciptakan bom atom dan meledakkannya di Hirosima dan Nagasaki.
Memang, menurut
latar belakang terbentuknya: mengapa dan untuk apa pengetahuan ada, maka
jawabannya ada ditangan manusia. Rancang bangun teori-teori ilmiah dibangun
teknologi dibuat berdasar pada teori-teori kebenaran ilmiah, semata-mata untuk
pemberdayaan nilai-nilai kebanaran ilmiah, yaitu kemanfaatan bagi kelangsungan
kehidupan dan bagi tercapainya tujuan kehidupan. Tatanan nilai seperti ini pula
yang sering dilupakan manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dan aspek ini pula yang jadi objek kajian aksiologi, yakni hubungan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sistem nilai.
DAFTAR
PUSTAKA
Baiquni, Achmad. 1983. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern.
Jakarta: Pustaka.
Bakker, Anton dan Achmad
Charris Zubair. 1990. Metodologi
Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Suhartono, Suparlan.
2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan:Persoalan
Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta:Ar-Ruzz Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar