Selasa, 27 Januari 2015

Filsafat Ilmu Pengetahuan



FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Pengantar
            Manusia telah mampu mewujudkan prestasi ilmiahnya secara teori dan praktik di abad ke-20 ini, yang 10% atau bahkan 0,1% dari prestasi-prestasi ilmiah itu belum mampu diwujudkan pada abad-abad sebelumnya (Yusuf Qardhawi, 2001:21). Bahkan dalam 300 tahun terakhir ini, ilmu pengetahuan merupakan sumber dari penemuan-penemuan teknologi yang tak ada habisnya (Franz Dahler dan Eka Budianta, 2000:175). Menapak abad ke-21, seiring dengan masuknya ke millennium III perkembangan penerapan ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi mengalami percepatan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, abad ke-21 membawa peradaban manusia memasuki era global. Sedangkan proses globalisasi itu sendiri terus berlangsung.
            Produk ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kehidupan masyarakat dunia di era global bagaikan menyatu dalam satu kota, yakni kota dunia. Batas-batas Negara sudah tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berhubungan. Kehidupan di era global saling pengaruh-mempengaruhi, sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap hanya milik suatu Negara tertentu, akan menyebar luas hingga menjadi milik bersama. Hal ini bukan hanya berlaku pada produk ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga termasuk unsur politik, ideologi, kebudayaan maupun krisis manusia.
            Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disandangnya, era global seakan berada pada titik puncak dari lintasan perjalanan sejarah peradaban manusia sejagat. Peradaban yang oleh Marshall G.S.Hodgson disebut sebagai kebudayaan gabungan, yakni suatu pengelompokan yang relative luas dari kebudayaan-kebudayaan yang berkaitan (Marshall G.S. Hodgson, 1999:126). Dengan demikian, betapapun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terwujudnya era global bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, lahir begitu saja secara spontan. Sebagai sebuah peradaban, era global merupakan gabungan dari berbagai unsure kebudayaan yang menyatu, setelah melalui proses perjalanan yang panjang.
            Seberapapun tingginya pencapaian kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era global tidaklah muncul secara seketika. Terwujud secara spontan. Semuanya berlangsung dirangkaian proses tanpa henti. Akan terus berlangsung mulai dari terbentuk peradaban awal, hingga berakhirnya kehidupan manusia. Perosesnya berjalan seiring dengan pertumbuhan, maupun perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Peradaban yang didukung oleh hasil pemikiran inovatif, temuan, maupun kreativitas manusia pada tahap-tahap tertentu disepanjang perjalanan sejarah manusia dan kemanusiaan. Dirangkaian tahap-tahap itu pula kemudian lahir peradaban-peradaban besar yang umum dikenal seperti peradaban sumerisme (peradaban kota berdasarkan keagrarian) di kurun waktu 5.000 tahun silam, peradaban modern dan teknikalismenya di pertengahan abad ke-18, (Nurcholish Madjid, 1984:50-54), serta era global di kurun millennium III, sekarang. Semuanya itu adalah produk yang dilahirkan oleh pemikiran dan kretaivitas manusia.
            Sebagai makhluk yang berakal, manusia selalu diliputi rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu (sense of curiosity)  itu sendiri memang merupakan salah satu dari potensi yang ada dalam diri manusia. Dengan adanya potensi ini manusia menjadi makhluk yang tak pernah merasa “puas”. Selalu ingin bertanya tentang sesuatu. Manusia bertanya-tanya karena adanya kegelisahan berpikir, karena kenyataan yang tidak jelas, disamping rasa heran, manusia menjadi bertanya pada diri sendiri secara heran (Conny R. Semiawan, 1988:34).
            Melalui berbagai pengalaman, kemudian manusia berhasil “memuaskan” sementara tuntutan rasa ingin tahu itu. Belajar dari pengalaman sendiri ini lazim disebut trial and eror atau coba dan salah, dan mencobanya lagi (Sukardi, 2011:10). Dalam pandangan Suparlan Suhartono, perkembangan ilmu pengetahuan itu atas dasar kodrat manusia yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup dan kehidupannya. Pada mulanya kebutuhan manusia masih sangat sederhana dan dapat terpenuhi, oleh alam dan sumber dayanya. Namun, kemudian berkembang menjadi semakin kompleks, yang upaya pemenuhan kebutuhan itu ditentukan oleh kemampuan kreativitas (Suparlan Suhartono:93).
            Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kodrat manusia ini, adalah bersifat hubungan dialektika. Kebutuhan hidup manusia yang ternyata bergerak baik secara kuantitatif maupun kualitatif, mendorong perkembangan pengetahuan menjadi semakin plural, metodis,sistematis, untuk kemudian ditingkatkan menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis (Suparlan Suhartono, 2005:93). Selain itu, kajian berdasarkan objek forma, yang menjadikan ilmu pengetahuan berjenis, bersifat, dan berbentuk khusus, jelas dan konkret (Suparlan Suhartono:69), juga tak dapat dilepaskan dari proses pluralisasi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan datangnya zaman Renaissance abad ke-16 dan abad pencerahan (enlightenment), terjadi pertumbuhan ilmu pengetahuan yang terus mengalami percepatan hingga sekarang (Franz Dahler dan Eka Budianta, 2000:175).
            Perkembangan ini bagaikan menampilkan “wajah seram” modernisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi, seakan tidak lagi diperuntukkan bagi kemaslahatan manusia dalam meningkatkan peradabannya. Di tengah kecenasan yang hampir tak pernah ditemukan solusinya itu, mencuat berbagai pertanyaan seputar dampak ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini memunculkan kesadaran dan keinginan yang mengakar pada diri manusia untuk mendapatkan jawaban atas masalahnya yang bersifat jelas-lengkap dan universal (Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1990:33).
Soedjatmoko mengemukakan:
“pertanyaan-pertanyaan itu berkisar sekitar masalah sampai dimana manusia bisa mngendalikan kembali ilmu dan teknologi, sehingga jalannya tidak menurut kemauannya dan momentumnya sendiri saja, melainkan melayani keperluan manusia dan keselamatan manusia. Pertanyaan-pertanyaan mengenai diri sendiri, mengenai tujuan-tujuannya, dan mengenai cara-cara pengembangannya, tidak dapat lagi dijawab oleh ilmu teknologi tanpa referensi kepada patokan-patokan mengenai moralitas dan makna, serta tujuan hidup manusia, termasuk mengenai yang baik dan yang batil dalam kehidupan manusia modern” (Soedjatmoko, 1984:203).
            “Geliat kekhawatiran” ini pula yang ikut mendorong para ilmuwan untuk “menyapa” kembali nilai-nilai kebijaksanaan filsafat. Berupaya untuk merintis jalan guna mengembalikan ilmu pengetahuan ke filsafat sebagai induk segala ilmu. Denagn kembali “ke pangkuan” sang ibu, diharapkan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin terhindar dari “sikap liar”nya yang bakal “menodai” nilai-nilai kemanusiaan. Disadari, bahwa tidak setiap masalah manusia dapat diselesaikan oleh salah satu didiplin ilmu pengetahuan secara sendiri, dengan otonom, tertutup, serta terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Justru manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya, merupakan titik temu dari berbagai disiplin ilmu (Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair:33).
            Proses rintisan ini merupakan langkah awal dari lahirnya disiplin filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science). Dengan demikian, filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang study filsafat yang objek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis, bentuk, dan sifatnya (Suparlan Suhartono, 2005:23). Filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu disiplin yang di dalamnya konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan (Conny R. Semiawan:44-45). Dengan demikian, filsafat ilmu pengetahuan merupakan telaah secara filsafat untuk menjawab mengenai hakikat ilmu pengetahuan.
            Filsafat ilmu pengetahuan ruang lingkupnya tidak hanya pada ilmu-ilmu  yang rasional dan empirik saja, melainkan tembus pada dunia metafisik suprarasional dan intuitif. Fungsinya adalah sebagai pengendali moral dari pluralitas keberadaan ilmu pengetahuan. Sebagai studi bidang filsafat praktis yang bersifat normatif, maka filsafat ilmu pengetahuan berkepentingan pada nilai kebenaran ilmiah dan kegunaannya (Suparlan Suhartono:26-27). Sejalan dengan kajian filsafat itu sendiri, maka ruang lingkup telaah filsafat ilmu pengetahuan mengacu pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri: hakikat apa yang dikaji, cara mendapatkan pengetahuan yang benar, serta nilai kegunaannya. 

Perkembangan dan Pengertian Filsafat
            Dalam sejumlah literatur yang membahas tentang filsafat dijelaskan, bahwa filsafat berkembang dari munculnya kesadaran manusia terhadap potensi dirinya, khususnya akal budi. Awal pemikiran filsafat muncul sebagai reaksi keras terhadap kungkungan mitologi, dimana manusia dibelenggu oleh kepercayaan bahwa kehidupan alam dikuasai oleh makhluk-makhluk gaib yang dimunculkan oleh mitos. Kesadaran mistis dekat dengan animism, yaitu kepercayaan akan adanya jiwa-jiwa, roh-roh yang mendiami, menghidupi alam. Roh-roh itu ditakuti, dihormati, diberi korban dan sajen, dimintai permohonan berkat (Franz Dahler dan Eka Budianta:279). Kepercayaan ini menyebabkan manusia menempatkan dirinya sebagai “pengabdi” dan “pemuja” para makhluk-makhluk rohaniah penguasa alam yang mereka sebut sebagai “dewa”.
            Perkembangan kesadaran rasional dari kesadaran magis-mistis ini merupakan loncatan yang mempengaruhi sejarah. Menurut Franz Dahler dan Eka Budianta, perkembangan kesadaran rasional atau filsafat ini mulai dari tahun 1200 SM di Tiongkok, kemudian juga di India, dan Yunani. Puncak pertamanya tecapai sekitar abad ke-6 dan ke-5 Se belum Masehi. Para perintisnya antara lain Lao Tse, Konfucius, Budha, Thales, Plato, Aristoteles (Franz Dahler dan Eka Budianta:281). Hal ini menunjukkan bahwa tokoh filsafat alam bukan milik tunggal bangsa Yunan, melainkan juga di dunia timur. Namun sayangnya, pemikiran-pemikiran para filsuf Timur ini kurang banyak dikenal, hingga tidak sempat jadi rujukan sejarah perkembangan filsafat.
            Menurut Conny R. Semiawan, Thales dari Miletus, Yunani dianggap sebagai orang pertama yang mempertanyakan alam dan segala isinya (Conny R. Semiawan:13). “ apa sebenarnya asal usul alam semesta?”. Pertanyaan ini dijawab berdasarkan pendekatan rasional bukan berdasarkan pendekatan mitologi (Martini Djamaris, 2011:114). Pemikiran Thales mengawali proses pemikiran filsafat. Oleh karena itu, dalam berbagai literatur, perkembangan filsafat dihubungkan dengan munculnya kesadaran rasional. Kesadaran manusia terhadap harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk berakal budi.
            Pandangan seperti ini oleh para ilmuwan selalu dihubungkan dengan kebudayaan Yunani kuno. Orang-orang Yunani kuno berkeyakinan bahwa manusia itu adalah makhluk yang luhur yang mempunyai kebebasan (Conny R. Semiawan:8). Manusia menginsyafi kebebasannya, martabatnya, dan kekuatan akal pikirannya (Franz Dahler dan Eka Budianta:282). Akibat perubahan pola pikir ini, manusia yang sebelumnya pasif dalam menghadapi fenomena alam berubah menjadi aktif dan kritis, sehingga alam dijadikan objek penelitian (Martini Djamaris, 2011:114).
            Penelitian merupakan bagian dari upaya manusia untuk menemukan apa yang disebut kebenaran. Sementara kebenaran itu telah ada sebelum manusia itu ada. Ia berada di luar alam manusia. Kebenaran itu sendiribukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus berkembang (Yakob Sumardjo, 2000:3). Dorongan ingin tahu yang ada pada dirinya, selalu mendorong manusia untuk terus mengembangkan “pencaharian” tersebut. Dengan demikian, upaya untuk menemukan kebenaran itu sendiri merupakan aktivitas tanpa henti.

Pengertian Filsafat
Pemikiran filsafat bermula munculnya kesadaran manusia akan potensi akal budinya. Munculnya perkembangan dalam kesadaran rasional atau filsafat mulai dari tahun 1200 SM di Tiongkok, kemudian juga ke India dan Yunani (Franz Dahler dan Eka Budianta:281). Namun dalam bergabai literature, latar belakang pemikiran filsafat selalu mengacu ke Yunani kuno. Tokoh-tokoh filsuf kondang dunia, juga dirujuk ke kawasan ini, termasuk pengertian filsafat itu sendiri.
Memang selain Yunani kuno, deberbagai kawasan sudah terdapat peradaban-peradaban yang lebih tua yang sudah berusia ribuan tahun seperti yang dijumpai di Assyria, Babylonia, Persia, dan Mesir. Namun mereka masih memandang manusia sebagai makhluk remeh yang menyembah dewa dan raja-raja dengan kekuasaan absolute. Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan orang Yunani mengenai harkat manusia. Mereka berkeyakinan bahwa manusia itu makhluk luhur, yang mempunyai kebebasan (Conny R Semiawan:8). Melalui pandangan seperti ini pula tampaknya, Yunani kuno mampu melahirkan pemikiran filsafat seperti yang dikenal sekarang.
Dikemukakan bahwa kata filosofi (philosophy) terambil dari kata Yunani : philo (suka, cinta) dan shopia (kebijaksanaan). Dengan demikian, filsafat berarti: cinta kepada kebijaksanaan (Harold H.Titus dkk,1984:11).secara sederhana, filsafat berarti cinta pada pengetahuan dan kebijaksanaan (Sirajuddin Zar, 2004:2). Berangkat dari makna kata ini pula rujukan dari pengertian filsafat itu, seperti dalam bahasa Inggris love of wisdom, dan muhibb al-hikmah (Arab), serta wijsbegeerte dalam bahasa Belanda (Hasyimsah Nasution. 1999:1).
Sebenarnya dalam bahasa arab, tampaknya tidak ada kata yang pas dapat dipadankan dengan kata philosophia maupun philoshopos. Dengan demikian, kata ini lazim dipadani dengan pengertian yang secara umum dinilai mirip dengan arti filsafat. Adapun padanan dimaksud adalah hikmah. Kata hikmah yang berarti pengetahuan dan kebijaksanaan, karena hikmah itu menghalangi orang yang memilikinya dari perbuatan rendah dan hina (Harifuddin Cawidu, 1998:84).
Ternyata pengertian etimologis ini tidak berhenti pada sebatas makna kata semata. Para pakar dalam bidang kajian filsafat mencoba memperluas makna yang terkandung dari kata asalnya itu. Misalnya, Beekman memperluas makna filosofia sebagai “melihat sesuatu dengan perhatian dan minat”, kemudian berarti pula “berpikir tentang sesuatu dan menyadarinya” (Conny R. Semiawan:33). Pengembangan makna yang serupa juga dikemukakan John S. Brubacher dan Dogabel Runes (Mohammad Noor Syam, 1986:21), bahwa pengertian filsafat secara etimologis cukup banyak. Berikut ini dikemukakan sejumlah pendapat yang mengacu kepada pengertian tentang apa yang dimaksud dengan filsafat itu.
John Brubacher mengemukakan “philosophy was, as its etymology from Greek word filos and sofia, suggests love of wisdom or lerning. Moreover it was love of learning in generals, it sub-sumed under one heading what today we call sciences as well as what we now call philosophy. It is for reason that philosophy is often refered to as the mother as well as the queen of the sciences” (filsafat berasal dari kata Yunani filos dan sofia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari itu dapat diartikan cinta belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan ilmu pengetahuan (sains) hanya ada di dalam apa yang kita sebut sekarang filsafat. Untuk alasan ini sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu ilmu pengetahuan.
Dogobel Runes menyatakan “philosophy (Gr.Pilein = to love, Sophia = wisdom) = the most general science; seeking of wisdom thought. Originally, the rational explanation of anything, the general principles under which all facts could be explained: in the sens indistinguisable from science,…Now, popularly, the science of the science, the criticism and systematization or organization of all knowledge. Drawn from empirical science, rational learning, common experience, or whatever,” (Filsafat berasal dari kata Yunani philein, cinta; Sophia, kebijaksanaan. Asalnya penjelasan rasional dari sesuatu, prinsip-prinsip umum yang menerangkan segala fakta, dalam pengertian ini tidak dapat dibedakan dengan sains ,…sekarang, secara popular diartikan sebagai ilmu dari ilmu, kritik dan sistematisasi atau organisasi dari semua ilmu pengetahuan, yang berasal dari ilmu empiris, pelajaran yang rasional, pengalaman biasa atau dimanapun).
Merujuk kandung makna katanya, filsafat menyirat suatu kegiatan atau aktivitas.
Sebagai kegiatan reflektif yang juga kegiatan akal budi, dalam bentuk perenungan dan satu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum. Adapun yang direfleksikan itu apa saja, dengan tujuannnya untuk memperoleh kebenaran yang mendasar, menemukan makna, dan inti dari segala inti. Dengan demikian filsafat merupakan eksplisitas tentang hakikat realitas yang ada dalam kehidupan manusia, yakni hakikat manusia itu sendiri, hakikat semesta, bahkan hakikat Tuhan, baik menurut segi struktural, maupun menurut segi normatifnya (Anton Bakker Achmad Charris Zubair, 1990:15).
Perenungan terhadap hakikat sesuatu terhadap realitas segala yang ada menunjukkan “kebebasan” aktivitas berfilsafat. Hasilnya dari perenungan itu sndiri akan beragam. Oleh sebab itu, adalah wajar bila penegrtian filsafat cukup banyak dan beragam pula. Para filsuf bisa dan bebas mengemukakan pendapat mereka seputar filsafat atas dasar sudut pandang yang berbeda. Memang berdasarkan karakteristiknya, filsafat tidak memberi sarana-sarana, akan tetapi mengajukan pertanyaan tentang tujuan dan tentang makna-makna, ungkap Roger Garaudy (Roger Garaudy, 1986).
Ada yang mengemukakan bahwa filsafat adalah sekumoulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasa diterima secara tidak kritis. Filsafat juga diartikan sebagai suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Lalu ada yang mengatakan filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan. Kemudian filsafat juga adalah sebagai analisis logis dari bahasa, serta penjelasan arti kata dan konsep. Sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat (Harold H. Titus dkk, 1984:11-14).
Secara umum, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007:20). Filsafat adalah ilmu yang mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (Poedjawijatna, 1977:34). Kemudian filsafat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Menurut Socrates, tugas filsafat sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun mempersoalkan jawaban (Jujun S. Suriasumantri, 1984:4).
Filsafat sebagai sutau proses yang mempertanyakan tentang arche (dasar)  atau asal mula atau asal usul alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos (rasio). Dengan demikian, filsafat adalah penyelidikan yang dilakukan dalam rangka memahami hakikat alam dan realitasnya dengan mengandalkan akal budi, jelas Socrates. Beda dengan pendahulunya ini Plato mendefinisikan filsafat sebagai pendidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada (Martini Djamaris:102-103).
Selanjutnya pengertian lain dari filsafat dikemukakan oleh Beerling, Corn Verhoeven, dan Walter Kuffmann. Beerling menyebut filsafat adalah pemikiran yang bebas, diilhami oleh rasio, mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman. Corn Verhoeven menyatakan “filsafat adalah meradikalkan keheranan ke segala jurusan”. Lalu menurut Walter Kuffmann “filsafat adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi, tanpa memerlukan kekerasan dan tanpa mengetahui hasilnya terlebih dahulu”. (Conny R. Semiawan, 1988:37)
Dalam pandangan Harun Nasution, filsafat ialah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan (Harun Nasution, 1973:24). Imam Barnadib menyebut filsafat sebagai pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Disebut menyeluruh, karena filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus dibalik pengetahuan itu sendiri. Melalui pandangan yang demikian akan terbuka kemungkinan untuk menemukan hubungan pertalian antara semua unsure yang dipertinggi, dengan mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebijakan. Dikatakan sistematis, karena filsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti, teratur, sesuai dengan hukum-hukum yang ada (Imam Barnadib, 1982:11-12).
Menurut Imanuel Kant, filsafat adalah pokok pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan, yakni: 1) apakah yangdapat kita ketahui?; 2) apa yang boleh kita kerjakan; 3) sampai dimana pengharapan kita; dan 4) apa yang dinamakan manusia? Pertanyaan pertama dijawab oleh metafisika, dan yang kedua dijawab oleh etika. Sedangkan pertanyaan ketiga dan keempat masing-masing dijawab oleh agama dan antropologi (Lasiyo dan Yuwono, 1985:6).
Filsafat adalah refleksi rasional (fikr, nazar, ma’rifat, ra’y) atau keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah (JMW Bakker Sy, 1978:7). Dalam pandangan Harold H. Titus, filsafat, dengan bekerjasama dengan ilmu-ilmu lainnya, dapat memainkan peran yang sentral dalam meminpin kita ke arah keinginan-keinginan dan aspirasi-aspirasi baru (Harold H. Titus dkk:10). Selanjutnya Harold Titus merinci pengertian filsafat sebagai berikut:
1.      Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa diterima secara kritis.
2.      Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
3.      Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan.
4.      Filsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasana tentang arti kata dan konsep.
5.      Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicari jawabannya oleh ahli filsafat (Harold Titus, Smith, dan Nolan, 11-14).
Filsafat mempunyai tempat dan kedudukan khusus. Filsafat tidak hanya terbatas pada salah satu bidang atau lapisan kenyataan, melainkan meliputi semua dimensi yang diteliti ilmu-ilmu lain. Filsafat bersifat total. Filsafat dipelajari menurut sebab-sebab yang mendasar (per ultimas causas), yaitu yang jadi objek formalnya. Hal ini berarti, bahwa semua yang diteliti menurut dasar-dasar yang sedalam-dalamnya, menurut inti, munurut konteks yang paling lengkap, dan menurut limit-limitnya yang paling luas (Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair:35).
Martini Djamaris merumuskan karakteristik berpikir filsafat sebagai: 1) berpikir radikal; 2) mencari asas; 3) memburu kebenaran; 4) mencari kejelasan; dan 5) berpikir rasional. Berpikir radikal, adalah usaha untuk menemukan suatu akar dari suatu kenyataan yang menyeluruh atau radix. Mencari asas, merupakan usaha yang hakiki dari realitas. Memburu kebenaran, yaitu usaha untuk menemukan kebenaran dari hakikat sesuatu dengan cara kritis, terbuka, dan toleren, ditinjau dari berbagai sudut pandang toleren tanpa prasangka, serta bebas dari mitos dan legenda. Mencari kejelasan, berarti segala permasalahan yang terkait dengan realitas dapat dijelaskan secara menyeluruh dan dipahami dengan tuntas. Selanjutnya berpikir rasional, adalah berpikir logis, kritis, dan sistematik (Martini Djamaris:106-108).
Awalnya pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yaitu logika, etika, dan estetika. Selanjutnya berkembang ke teori tentang ada: menyangkut hakikat tentang keberadaan zat, pikiran, serta keterkaitan antara zat dan pikiran yang terangkum dalam metafisika. Berikutnya politik, yakni kajian mengenai organisasi social/pemerintahan yang ideal. Lima cabang utama filsafat ini kemudian berkembang ke cabang-cabang yang lebih spesifik, termasuk filsafat ilmu. Adapun cabang-cabang filsafat dimaksud adalah: 1) filsafat ilmu pengetahuan (epistemologi); 2) filsafat moral (etika); 3) filsafat seni (estetika); metafisika; 5) filsafat pemerintahan (politik); 6) filsafat agama; 7) filsafat ilmu; 8) filsafat pendidikan; 9) filsafat hukum; 10) filsafat sejarah; dan 11) filsafat matematika (Jujun S. Suriasumantri, 2000:32-33).
Mencermati berbagai definisi yang dikemukakan, secara garis besarnya filsafat berhubungan dengan upaya menemukan kebenaran tentang hakikat sesuatu yang ada melalui penggunaan kemampuan akal secara optimal. Kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran filsafat adalah jawaban-jawaban dalam bentuk gagasan (ide). Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dalam sistem konseptual. Kegunaannya adalah untuk kearifan hidup (Yakob Sumardjo:5). Cirri-ciri pemikiran flsafat adalah: 1) deskriptif; 2) kritis dan analisis; 3) evaluatif dan normatif; 4) spekulatif; 5) sistematis; 6) mendalam; 7) mendasar; dan 8) menyeluruh (Sotriono dan Rita Hanafie:21).
Kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat, selain bersifat abstrak. Juga spekulatif. Dengan berbekal kearifan filsafat, manusia belum mampu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat konkret. Filsafat mengerti apa yang seharusnya menjadi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi filsafat tidak mampu mengetahui bagaimana cara mengadakannya (Suparlan Suhartono, 2000:17). Melalui lembaga ilmu pengetahuan, manusia dapat mengupayakan hasil yang bersifat konkret, empiric, dan didasarkan atas fakta apa adanya (Yakob Sumardjo:5). Hanya dengan ilmu pengetahuan, maka kebutuhan manusia yang bersifat nyata, konkret dan khusus, dapat dipenuhi (Suparlan Suhartono:17). Dirangkaian “penjelajahan” ini pula rasa ingin tahu manusia dalam upaya menemukan kebenaran melahirkan lembaga baru, yakni ilmu pengetahuan.     

Pengertian Ilmu Pengetahuan
Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan intuisi dan kepercayaan (Mulyadhi Kartanegara, 2003:2). Ilmu pengetahuan yang dimaksud dengan sains (science) adalah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat (hukum) ilmu pengetahuan (KBBI, 1990:324). Dengan demikian, hanya pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat dimaksud bisa disebut sebagai sains (ilmu pengetahuan). Di luar ketentuan ini, segala bentuk pengetahuan tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan. Selanjutnya akan dikemukakan sejumlah pendapat mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Van Puersen yang disebut ilmu pengetahuan (sains), ialah pengetahuan yang terorganisasi, yaitu dengan sistem dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan tetap diantara gejala-gejala (C.A. Van Puersen, 1985:16). Achmad Baiquni mengemukakan pengertian singkat ilmu pengetahuan atau sains, sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar. Jadi kita dapat mengatakan bahwa sains adalah himpunan rasionalitas kolektif insane (Achmad Baiquni, 1983:1).
Selanjutnya Cohen menyatakan “a scientific is ideally, a universal empirical statement; which assert causal connection between two or more types of event(Louis Lawrence Chohen, 2011:69). Ilmu pengetahuan itu sendiri perlu ditopang oleh cirri yang berlandaskan asas ilmiah dan kaidah ilmiah. Adapun yang dimaksud dengan asas ilmiah, yakni proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati (observasi ilmiah). Observasi ilmiah sebagai manifestasi dari metode ilmiah secara murni yang sepenuhnya didasarkan pada rasio atau empiri.  Dengan demikian, subtektivitas dan kehidupan emosi dikesampingkan (Conny R. Semiawan:78). Sedangkan kaidah ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tata tertib yang konsisten dan sistematis.
Dalam penjelasannya, Prof. Dr. A. Baiquni mengemukakan bagaimana proses memperoleh ilmu pengetahuan tersebut. Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural, orang mengumpulkan pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar. Data mengenai yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuhan ataupun yang tak bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, dan benda-benda di sekitar kita. Selanjutnya data pengukuran gejala alamiah itu dianalisis, kemudian diambil kesimpulannya yang dapat diterima dalam penalaran (A,Baiquni, 1983:1-2). Dalam proses tersebut ada langkah-langkah dan pertahapan yang dilakukan. Semuanya dilakukan tersusun secara sistematis.
Ilmu pengetahuan (sains), juga disebut sebagai pengetahuan sistematis dan berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat-sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji (Mulydhi Kartanegara, 2003:2). Jadi ada system tertentu. System sebagai suatu keadaan atau sesuatu tertentu yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Adanya hubungan atau saling ketergantungan ini adalah dalam rangka pembentukan suatu keseluruhan yang utuh (Suparlan Suhartono, 2005:78-79).
Dalam hubungan dengan system tersebut, Soejono Soemargono, mengemukakan ada enam jenis  system yang lazim dipakai dalam ilmu pengetahuan, yakni 1) system tertutup; 2) system terbuka; 3) system alami; 4) system buatan; 5) system berbentuk lingkaran; dan 6) system berbentuk garis lurus (Suparlan Suhartono:79-81). System tertutup lebih banyak berhubungan dengan objek yang bersifat kuantitatif dan metode penyelidikan deduktif. Adapun system terbuka banyak digunakan bagi objek penyelidikan kualitatif dan metode induktif (Suparlan Suhartono:79-80).
Dedi Supriadi yang mengadopsi sains sebagai ilmu pengetahuan, mengemukakan beberarapa cirri standar. Pertama, dalam pengertian sempit yang ditandai oleh generalitas yang luas dan daya prediksi yang akurat. Kedua, ilmu pengetahuan mengimplikasikan kemampuan untuk melakukan eksperimen terkendali (controlled experiment) dalam rangka menguji teori dan hipotesis. Ketiga, ilmu pengetahuan dipahami berdasarkan dimensi pasifnya, yakni mengacu pada akumulasi fakta dan informasi, sehingga membentuk suatu sistematika. Keempat, ilmu pengetahuan dipandang dari dimensi aktifnya, yang lebih dari hanya akumulasi informasi, fakta, konsep, teori, atau paradigm melainkan system berpikir.
Kelima, dalam konteks kreativitas keilmuan, ilmu pengetahuan dimaknakan sebagai system berpikir yang melibatkan serangkaian aktivitas kreatif dan imajinatif ilmuwan dalam upaya mencari kebenaran sedangkan menurut Golstein, ilmu merupakan cara memandang dunia, memahami, dan mengubahnya. Dengan ilmu pengetahuan manusia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai gejala alam dan manusia dengan menggunakan metode ilmiah.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang diperoleh manusia dari berbagai sumber. Pengetahuan-pengetahuan itu diperoleh dnegan menggunakan metode tertentu, yakni metode ilmiah. Hasil dari semuanya itu kemudian disusun secara sistematis. Selanjutnya dilakukan verifikasi (diuji) kebenarannya secara empiris. Kebenarannya dapat dibuktikan secara konkret yang didasarkan atas pengalaman nyata.

Bidang Kajian Filsafat Ilmu Pengetahuan
            Filsafat sebagai suatu cara pencarian kebijakan memiliki cabang-cabnagnya yang saling berkaitan. Lapangan akal pikiran dalam filsafat meliputi ontology, epistimologi, dan aksiologi. Seperti dimaklumi, bahwa filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang dari filsafat yang bersifat otonom. Sejalan dengan hal itu, maka kajian filsafat ilmu pengetahuan adalah telaahan secara filsafat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Adapun hakikat ilmu pengetahuan tersebut mengacu kepada jawaban terhadap pertanyaan: apa, bagaimana, dan untuk apa?
            Pertanyaan pertama mengacu pada jawaban tentang apa hakikat ilmu pengetahuan itu. Pertanyaan ini menurut jawaban berupa substansi atau diri (hakikat) objek yang diketahui. Adapun pertanyaan berikutnya, yakni bagaimana, berhubungan dengan proses dan cara yang digunakan untuk menemukan dan memperoleh ilmu pengetahuan itu. Selanjutnya, jawaban dari pertanyaan untuk apa, terkait dengan kegunaan atau pemanfaatan ilmu pengetahuan, yakni nilai kegunaan ilmu pengetahuan itu sendiri (Jujun S. Suriasumantri, 2000:227). Ketiga pertanyaan tersebut dijadikan bidang kajian filsafat ilmu pengetahuan, yakni ontology, epistemology, dan aksiologi.
1.      Ontologi   
Ontologi berasal dari kata Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya (Suparlan Suhartono:111). Kata Yunani onto berarti “yang ada secara nyata”, kenyataan yang sesungguhnya (Nadiroh:142). Ontology adalah ilmu mengkaji tentang hakikat ilmu. Hakikat apa yang dikaji. Dikemukakan pula bahwa ontology ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasioanal atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (Nadiroh, 2011:143).
Adapun yang dimaksud dengan ontology adalah kajian yang memusatkan diri pada pemecahan esensi sesuatu atau wujud, tentang asas-asasnya dan relalitas (Hafiz Ghulam Sarwa, 1976:25). Asas-asas tentang sesuatu wujud yang nyata. Keberadaan dan realitasnya dapat dicermati dan ditangkap oleh panca indera manusia. Dengan demikian, ontology adalah telaah secara filsafat yang ingin menjawab objek apa yang ditelaah oleh ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Dikemukakan bahwa ontology menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi panca indera kita. Nagaimana realita yang ada ini, adalah materi semata, apakah wujudnya bersifat tetap, kekal tanpa perubahan? Juga apakah realita itu juga berbentuk dari satu unsure (monisme), dua unsure (dualisme), atau banyak unsure (pluralisme). Dengan demikian, alam semesta ini sebagai sebuah realita apakah juga berhakikat ministik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah. Juga apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency).
Dengan demikian ontology membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontology terdapat pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Manakala ruang kajian ontology tidak semata-mata dihubungkan dengan panca indera manusia, melainkan juga pikiran (rasio), maka objek telaahnya menjadi tidak terbatas pada “wujud” materi semata. Tidak hanya objek yang bersifat fisik materi, tapi juga mencakup objek yang metafisik (metafisika).
Cabang utama metafisika adalah ontology, yakni studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungn antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan (Nadiraoh:139). Disamping itu, metafisika juga merupakan kajian tentang keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Jadi disini terjelaskan, kalau objek kajian ilmu pengetahuan dalam tataran ontologism, tidak hanya menyangkut dan terbatas pada jangkauan panca indera manusia, melainkan juga akal pikiran (rasio) manusia.
Penafsiran metafisika keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontology sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Melalui pemahaman seperti ini, maka penempatan aspek-aspek yang bersifat metafisik ke dalam objek kajian ilmu pengetahuan  menjadi “legal” dan “mulus”. Kajian mengenai kejiwaan (metafisik), dideduksi ke gejala-gejala kejiwaan yang dapat diverifikasi secara fisik. Demikian pula kajian tentang energy listrik (metafisik), dideduksi ke satuan-satuan daya atau kekuatan. Satuan kekuatan daya seperti megawatt, kilowatt, atau watt, secara fisik juga bisa diverifikasi. Deduksi-deduksi serupa juga berlaku bagi kajian fenomena, kasus, ataupun gejala alam lainnya.
Selanjutnya Nadiroh mengemukakan  pandangan Aristoteles tentang objek metafisika, yakni: 1) ada sebagai yang ada, dan 2) ada sebagai yang Ilahi. Yang pertama adalah pengetahuan yang mengkaji tentang itu dalam bentuk yang semurni-murninya, bahwa benda itu sungguh-sungguh  ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, yang bisa ditangkap panca indera. Sedangkan objek yang kedua, adalah keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung kepada yang lain, yakni Tuhan. Illahi berarti tidak dapat ditangkap dengan panca indera.
Dalam pengertian yang lebih luas, secara garis besarnya, pengertian ontology dapat dirumuskan menjadi: 1) ontology adalah studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dari arti dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak; 2) ontology adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensin atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya; 3) ontology adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang bergantung kepada-Nya, dan 4) ontology adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya (Suparlan Suhartono:111-112).
Berdasarkan penjelasan di atas, bidang ontology membatasi diri pada objek apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan. Ontology membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikrkan manusia secara rasional dan dapat diamati melalui panca indera manusia. Menurut Nadiroh, beberapa pertanyaan dalam kajian ontology adalah:
a.       Apakah yang dimaksud dengan ada, keberadaan, dan eksistensi itu?
b.      Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan, dan eksistensi itu?
c.       Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan?
Pada saat ilmu pengetahuan berkembang, pada tahap ontologism ini manusia berpendapat bahwa terdapat hokum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam menghadapi masalah tertentu manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut. Membatasi pada masalah yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Jelasnya, secara ontologism objek ilmu pengetahuan adalah berupa wujud, fakta, gejala, ataupun peristiwa yang dapat diindera maupaun dipikirkan manusia.

2.      Epistemologi       
Epistemologi berasal dari kata  Yunani episteme yang berarti “pengetahuan”. “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos berarti teori (Nadiroh:147). Dengan demikian, secara etimologis, epistemologis dapat diartikan sebagai teori ilmu pengetahuan. Sebagai cabang filsafat, epistemologi menyelidiki asal, sifat, metode, dan bahasan pengetahuan manusia. Epistemology juga disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemology sebagai teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Sebab pengetahuan didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Persoalan pokok etimologi adalah menyangkut persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it.” Jadi masalah pokok etimologi menyangkut “belief, understanding, reason, judgement, sensasion, imagination, supposing, guesting, learning and forgetting (Suparlan Suhartono:117). Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada proses. Dalam pandangan epistemology, setiap pengetahuan merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia (Salam B., 1988:19).
Secara lebih rinci cakupan epistemologi dikemukakan Jujun S. Suriasumantri: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan yang benar? Apakah yang disebut kebenaran itu, dan apa kriterianya? Cara, teknik, dan sarana apa yang membantu kita mendapatkan pengetahuanberupa ilmu?
Lebih jauh, epistemology dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitas) pengetahuan. Bila dalam filsafat pertanyaan pokonya adalah “apakah ada itu?”, maka dalam epistemology pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui” (Nadiroh:147). Selanjutnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Nadiroh, bahwa persoalan-persoalan epistemology adalah:
a.       Apakah pengetahuan itu?
b.      Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
c.       Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?
d.      Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
e.       Apa perbedaan antara pengetahuan a-priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman)?
f.       Apa perbedaan diantara : kepercayaan, pengetahuan, pendapat, kenyataan, fakta, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, dan kepastian?
Semua pengetahuan berusaha menemukan kebenaran. Apa yang dapat diketahui tentang kebenaran. Epistemology merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakikat kebenaran (Suparlan Suhartono:118). Sebagai sebuah prosedur, epistemology memiliki berbagai perangkat dalam upaya membantu kita memperoleh ilmu pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Namun karena pendapat tentang kebenaran itu sendiri berbeda, sesuai dengan kriterianya masing-masing, maka dalam epistemology metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan itu juga mengalami perbedaan.
Sehubungan dengan itu, maka proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran secara epistemologis harus ditopang dengan system. Dengan adanya system, akan terbentuk hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian, sehingga membentuk suatu keseluruhan. Oleh karena itu, penyelidikan masa kini pada filsafat ilmu tidak lagi memuat upaya prasangka terhadap persoalan utama, yakni metode-metode analisis logis sajakah yang sah, ataukah yang lainnya.
Memang untuk menyatukan kebenaran yang bersumber dari sudut pandang yang berbeda bukan hal yang mudah. Apalagi dalam filsafat ilmu pengetahuan dikenal adanya berbagai aliran, yakni: aliran rasionalisme yang ditokohkan kepada Renes Descartes, aliran empirisme dengan tokohnya John Locke, aliran positivism oleh Auguste Comte dan neopositivisme oleh Karl Raimund Popper, maupun kritisme oleh Immanuel Kant (Nusa Putra: 166-174). Setiap aliran ini memiliki konsep masing-masing filsafat ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, dengan terwujudnya pemahaman yang berlandaskan sebuah system, barangkali jurang perbedaan yang terjadi, setidaknya dapat dipersempit atau terjembatani.

3.      Aksiologi
Merujuk ke asal katanya, aksiologi tersusun dari kata bahasa Yunani axios dan logos. Axios berarti nilai dan logos artinya teori. Aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Nadiroh:154). Nilai merupakan realitas yang abstrak yang berfungsi sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup.  Nilai menempati kedudukan penting dalam  kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat dimana sementara orang lebih siap mengorbankan hidup ketimbang mengorbankan nilai. Nilai dapat dilacak dari tiga realitas, yakni: pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok.
Menurut Max Scheler, nilai-nilai itu terbangun dalam empat peringkat, yakni: 1) nilai-nilai kenikmatan; 2) nilai-nilai kehidupan (kesehatan, kebugaran, kesejahteraan umum; 3) nilai-nilai kejiwaan (keindahan, kebenaran, pengetahuan murni yang dicapai filsafat, dan 4) nilai-nilai kerohanian (suci, tak suci). Manusia memahami nilai-nilai dengan hatinya, bukan dengan akal budinya. Lebih jauh dikemukakan, bahwa nilai sebagai suatu kata benda abstrak mengandung dua pengertian. Dalam pengertian terbatas (sempit), berupa sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Dalam pengertuan luas, nilai mengacu kepada kewajiban, kebenaran, dan kesucian (Nadiroh:155).
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu pengetahuan. Seperti dimaklumi, bahwa ilmu pengetahuan ditujukan untuk kepentingan hidup manusia. Ilmu pengetahuan membantu manusia mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia mampu mengobservasi, memperediksi, memanipulasi, dan menguasai alam.
Memang sejatinya ilmu pengetahuan digunakan bagi sebesar-besar manfaat manusia. Manfaat bagi kehidupan manusia sebagai makhluk berperadaban yang memiliki harkat dan martabat. Pengguanan produk ilmu pengetahuan semestinya diarahkan pada upaya peningkatan peradaban, sejalan dengan nilai kemanusiaan yang berlaku. Jadi bukan sebaliknya. Manakala berhadapan dengan penggunaan ilmu pengetahuan ini pula sebenarnya masalah nilai mulai dipertanyakan. Apakah penggunaan ilmu pengetahuanitu bebas nilai, atau terikat kepada nilai-nilai tertentu?
Permasalahan ini kemudian mengacu kepada sejumlah pertanyaan. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? (Jujun S. Suriasumantri:33-34).
Menyikapi pertanyaan seputar kegunaan ilmu pengetahuan ini, menurut Jujun S. Suriasumantri, para ilmuwan berbeda pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti padawaktu era Galileo. Golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan itu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan ini berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan kepada kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Golongan pertama yang dikenal sebagai kaum positivism sebagai yang bersikeras bahwa ilmu bebas nilai. Positivism bersikeras mempertahankan antara pertimbangan nilai dan pertimbangan factual. Sampai-sampai neopositivisme secara ekstrem mengatakan, bahwa pembicaraan tentang nilai tidak bermakna, karena tidak dapat diverifikasi, diuji secara empiris.
Sebaliknya golongan antipositivisme, seperti Gunnar Myrdal bersiteguh, bahwa analisis keilmuan terhadap gejala-gejala manusia dan kemasyarakatan tidak pernah dapat dibebaskan dari pengandaian-pengandaian yang mengandung penilaian. Bagi Myrdal yang penting adalah bagaimana membuat nilai-nilai itu dibeberkan secara terbuka dan dipertanggungjawabkan. Jadi, bukan dengan menutup-nutupinya dengan berbagai terminology yang seakan bebas nilai. Ilmu tidak semata-mata disusun secara logis dan rasional, bersifat empiris, rasionalis kritis, ataupun konstruktivistis saja, melainkan suatu system yang terbuka dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan masyarakat spiritual. Material, ataupun kaitannya dengan konteks ilmu itu sendiri.
Ketegangan ilmu pengetahuan dan system nilai dewasa ini terasa makin sensitive sifatnya. Hal ini terjadi karena baik cara mengusahakan ilmu pengetahuan, maupun pemanfaatannya telah semakin berkembang, serta memunculkan tidak saja kegunaan tetapi sekaligus ancaman bagi umat manusia. Kegemilangan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak hanya berhenti pada tuntutan masyarakat sipil, tetapi juga meluas ke tuntutan dunia militer. Prestasi dalam dunia militer ini, sebagiannya kita saksikan dalam perang teluk kedua. Sebelumnya Amerika telah menciptakan bom atom dan meledakkannya di Hirosima dan Nagasaki.
Memang, menurut latar belakang terbentuknya: mengapa dan untuk apa pengetahuan ada, maka jawabannya ada ditangan manusia. Rancang bangun teori-teori ilmiah dibangun teknologi dibuat berdasar pada teori-teori kebenaran ilmiah, semata-mata untuk pemberdayaan nilai-nilai kebanaran ilmiah, yaitu kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan dan bagi tercapainya tujuan kehidupan. Tatanan nilai seperti ini pula yang sering dilupakan manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan aspek ini pula yang jadi objek kajian aksiologi, yakni hubungan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sistem nilai.



DAFTAR PUSTAKA

Baiquni, Achmad. 1983. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Jakarta: Pustaka.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan:Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta:Ar-Ruzz Media

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar